Minggu, 17 April 2011

FUNGSI AKHLAK BAGI KEHIDUPAN MANUSIA


A.     Latar Belakang
Dalam ajaran Islam ada tiga komponen yang merupakan tiang utama bagi kekokohan keberagamaan seseorang, ketiga komponen tersebut adalah Islam, iman dan ihsan. Islam adalah ajaran yang di dalamnya terdapat lima pokok ajaran yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan iman adalah sebuah ajaran yang berhubungan dengan keyakinan hati, di dalamnya terdapat enam inti ajaran yaitu kepercayaan terhadap Allah, malaikat, para rasul, kitab-kitab, hari akhir, qada dan qadar. Adapun ihsan adalah sebuah ajaran yang menekankan adanya kemurnian dan ketulusan dalam merealisasikan penyembahan dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta. Kemurnian dan ketulusan ini berangkat dari jiwa yang memiliki nilai-nilai karimah, dan adanya nilai-nilai karimah ini dalam Islam termasuk kategori tujuan pembentukan akhlak Islam. Dengan demikian, ajaran ihsan rapat hubungannya dengan akhlak, yakni sebuah keadaan yang tertanam pada jiwa manusia.
Dalam Islam, akhlak menempati posisi yang sangat penting, karena kesempurnaan Islam seseorang sangat tergantung kepada kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Manusia yang dikehendaki Islam adalah manusia yang memiliki akhlak mulia, manusia yang memiliki akhlak mulialah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.
Oleh karena hal tersebut di atas, dalam al-Quran banyak mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan akhlaq, baik berupa perintah untuk berakhlaq yang baik, maupun larangan berakhlaq yang buruk serta celaan dan dosa bagi orang yang melanggarnya. Hal ini membuktikan betapa pentingnya akhlaq dalam ajaran Islam, karena akhlaq yang baik (mahmudah) akan membawa kemasalahatan dan kemuliaan kehidupan.

B.     Pengertian Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1989 21) akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Secara etimologis, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Louis Ma’luf,  1997 : 164).
Secara terminologi, akhlak adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تَصْدُرُ اْلأَفْعَالُ بِسُهُوْلِةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
”Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan menurut al-Ghazali.” (1989 : 58).
Definisi yang diberikan oleh al-Ghazali ada kemiripan dengan definsi yang diberikan Ibrahim Anis (1975 : 2002) yaitu:
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lebih lanjut. Imam al-Ghazali memberikan ilustrasi dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din (loc. Op. cit) bahwa bila seseorang dalam menerima tamu dan membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lainnya, atau kadangkala lembut dan kadangkala tidak, maka orang tersebut belum bisa dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya tanpa melihat latar belakang tamunya.
Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat, watak atau kesusilaan. Sedangkan moral yaitu mos jamaknya mores adalah kata latin yang berarti adat atau cara hidup. Meskipun kedua istilah tersebut mempunyai kesamaan pengertian dalam percakapan sehari-hari, namun di sisi lain mempunyai unsur perbedaan. Istilah etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada, karena etika merupakan suatu ilmu. Istilah moral digunakan untuk memberikan kriteria perbuatan yang sedang dinilai. Karena itu, moral bukan suatu ilmu tetapi merupakan suatu perbuatan manusia (Mahyuddin, 1999 : 2).
Kedua istilah di atas, sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Namun perbedaannya terletak pada dasar yang dipakai dalam menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Akhlak dasarnya al-Quran dalam menentukan baik dan buruk, sedangkan etika dasarnya pertimbangan akal pikiran dan moral dasarnya adalah kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat (Asmara, 1992 : 9).
Dalam Islam, yang menjadi dasar atau alat pengukur yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik atau buruk adalah al-Quran dan as-sunnah. Apa yang baik menurut al-Quran dan Sunnah, itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, apa yang buruk menurut al-Quran dan Sunnah berarti tidak baik dan harus dijauhi. Pribadi Nabi Muhammad saw. adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikan teladan dalam membentuk pribadi masing-masing. Begitu juga pribadi sahabat-sahabat beliau, dapat kita jadikan contoh teladan, karena mereka semua mempedomani al-Quran dan Sunnah Nabi saw. (Ali Hasan, 1982:11).
Akhlak terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.   Akhlak mahmudah, ialah segala tingkah laku yang terpuji (yang baik) yang biasa dinamakan ”fadlilah” (kelebihan (Hamzah Ya’qub, 1996:95). Akhlak yang baik umpamanya: benar, amanah, menepati janji, sabar (tabah), pemaaf, pemurah, dan lain-lain sifat dan sikap yang baik (M. Ali Hasan, 1982:10).
b.  Akhlak madzmumah, yang berarti tingkah laku yang tercela atau aklak yang jahat (qabihah) yang menurut istilah al-Ghazali disebut ”muhlikat”, artinya segala sesuatu yang membinasakan atau mencelakakan (Hamzah Ya’qub, 1996:95). Akhlak yang buruk umpamanya: sombong (takabbur), dengki, dendam, mengadu domba, ghibah, riya, khianat, dan lain-lain sifat dan sikap yang jelek (M. Ali Hasan, 1982:10).

C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak
Untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi akhlak pada khususnya, dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer, yaitu aliran Nativisme, aliran Empirisme, dan aliran konvergensi.
Menurut aliran Nativisme, bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya (M. Ngalim Purwanto, 2007:59).
Menurut aliran ini, faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik (Abudin Nata, 2006:167).
Selanjutnya, menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada anak baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran (Abudin Nata, 2006:167).
Menurut aliran ini, manusia-manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun ke arah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidikannya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis (M. Ngalim Purwanto, 2007:59).
Aliran lain, yaitu aliran konvergensi berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawan si anak, dan faktor luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode (M. Arifin, 1991:113).
Aliran yang ketiga ini, tampak sesuai dengan ajaran Islam. hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadits di bawah ini:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِّنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيْأً وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Depag RI, 1989 : 413)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajara dan pendidikan (Abudin Nata, 2006:168).
Kesesuaian teori konvergensi tersebut di atas, juga sejalan dengan dengan Hadits Nabi saw. yang berbunyi:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخارى)
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka ayah dan ibunyalah yang akan menjadikan dia seorang yahudi atu nasrani“.(Sahih Bukhari, Jilid 3, 1995 : 177).
Ayat dan hadits tesebut di atas, selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa pelaksana utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya kedua orang tua, khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan (Abudin Nata, 2006:169).
Dengan merujuk kepada aliran konvergensi di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi akhlak manusia, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Menurut Shailun A. Nashir (1992:42) faktor intern yang mempengaruhi akhlak terdiri atas instink, akal dan nafsu. Sedangkan menurut Rahmat Djatnika (1992:72) faktor dari dalam diri manusia itu adalah instink dan akalnya, adat, kepercayaan, keinginan-keinginan, hawa nafsu (passion) dan hati nurani atau wijdan. Selain itu, faktor intern yang dapat mempengaruhi akhlak juga terdapat dalam diri individu yang bersangkutan, seperti malas, tidak mau bekerja, adanya cacat fisik, cacat psikis dan lainnya.
Adapun faktor yang berasal dari luar dirinya secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, semua yang sampai kepadanya merupakan unsur-unsur yang membentuk akhlak. Faktor-faktor tersebut adalah:
-        Keturunan.
-        Lingkungan.
-        Rumah tangga.
-        Sekolah.
-        Pergaulan kawan, persahabatan.
-        Penguasa, pemimpin (Rahmat Djatnika, 1992:73)
Lingkungan merupakan salah satu faktor dari luar yang besar pengaruhnya tehadap tingkah laku seseorang. Lingkungan ini bisa berupa lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, juga lingkungan alam. Dalam hal ini, Hamzah Ya’qub (1996:71) membagi lingkungan atas dua bagian, yaitu:
a.       Lingkungan Alam yang Bersifat Kebendaan
Lingkungan alam yang besifat kebendaan merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan alam ini dapat mematahkan dan mematangkan pertumbuhan bakat seseorang, namun jika kondisi alamnya jelek akan menjadi perintang dalam mematangkan bakat seseorang. Oleh karena itu, kondisi alam ini ikut mencetak manusia-manusia yang dipangkunya. Misalnya, orang yang hidupnya di pantai akan berbeda kehidupan dan perilakunya dengan orang yang hidup di pegunungan.
b.      Lingkungan pergaulan yang bersifat rohaniah
Lingkungan pergaulan sesama manusia sangat mempengaruhi terjadinya perbuatan manusia, karena antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya saling mempengaruhi dalam pikiran sifat, dan tingkah laku. Lingkungan pergaulan ini dapat dibagi kepada beberapa kategori:
-        Lingkungan dalam rumah tangga;
-        Lingkungan sekolah;
-        Lingkungan pekerjaan;
-        Lingkungan organisasi atau jamaah;
-        Lingkungan yang bersifat umum dan bebas, misalnya seseorang yang bergaul dengan pecandu obat bius, maka diapun akan menjadi pecandu obat bius juga. Sebaliknya, jika remaja itu bergaul dengan sesama remaja dalam bidang-bidang kebajikan, niscaya pikirannya, sifatnya dan tingkah lakunya akan terbawa kepada kebaikan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa akhlak yang menghiasi seseorang tidak terlepas dari pengaruh yang terdapat dalam dirinya, berupa potensi-potensi yang dibawanya sejak lahir, dan pengaruh yang datang dari luar, yaitu berupa lingkungan dan pendidikan yang diterimanya.

D.    Akhlak Karimah dalam Kaitannya dengan Fungsi Hidup
Akhlakul yang baik (al-akhlaqu al-mahmudah) sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan akhlak tersebut bisa menyeimbangkan antara antara akhlak yang baik dengan akhlak yang buruk pada perbuatan manusia, maka ukuran dan karakternya selalu dinamis, sulit dipecahkan.
Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak mulia ini sangat ditekankan karena di samping akan membawa kebahagiaan bagi individu, juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang, tujuannya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Abudin Nata, 2000:169-170).
Allah Swt. menggambarkan dalam al-Quran tentang janji-Nya terhadap orang yang senantiasa berakhlak baik, di antaranya Q.S. an-Nahl:97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ  (النحل:97)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Orang yang selalu melaksanakan akhlak mulia, mereka akan senantiasa memperoleh kehidupan yang baik, mendapatkan pahala berlipat ganda di akhirat dan akan dimasukkan ke dalam sorga. Dengan demikian, orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat.
Kenyataan sosial membuktikan bahwa orang yang berakhlak baik akan disukai oleh masyarakat, kesulitan dan penderitaannya akan dibantu untuk dipecahkan, walau mereka tidak mengharapkannya. Peluang, kepercayaan dan kesempatan datang silih berganti kepadanya. Kenyataan juga menunjukkan bahwa orang yang banyak menyumbang, bersedekah, berzakat, tidak akan menjadi miskin, tetapi malah bertambah hartanya.
Akhlak karimah merupakan suatu pengamalan yang bersifat ibadah di mana seseorang dalam perilakunya dituntut untuk berbuat baik terhadap Allah swt. dan berbuat baik terhadap manusia, juga terhadap dirinya sendiri, juga terhadap makhluk Allah yang lainnya (Ana Suryana, 2007:73).
Dalam pada itu, Ana Suryana (2007:73-74) mengelompokkan akhlak di atas sebagai berikut:
1.      Akhlak yang baik kepada Allah:
-        Cinta kepada Allah swt.
-        Taqwa kepada Allah swt.
-        Mengharap keridlaan Allah swt.
-        Tawakkal kepada Allah swt.
2.      Akhlak yang baik terhadap sesama manusia:
-        Berbuat baik terhadap ibu dan bapak.
-        Berbuat baik terhadap teman.
-        Berbuat baik terhadap sahabat.
3.      Akhlak baik terhadap diri sendiri:
-        Menjaga lahir batin.
-        Harus berani membela yang baik.
-        Rajin bekerja dan mengamalkan ilmunya.
-        Bergaul dengan orang baik.
-        Berusaha mencari nafkah yang halal.
-        Jujur dan benar dalam perilaku.
4.      Akhlak yang baik terhadap sesama makhluk Allah.
-        Sayang terhadap binatang.
-        Sayang terhadap tumbuh-tumbuhan.

E.     Pendidikan Akhlak
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, isitlah atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh dewasa agar ia menjadi dewasa (Hasbullah, 2008 : 1). Di samping itu juga, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman N., dkk., 1992 : 4)
Sementara itu, Ahmad D. Marimba, 1987 : 19) memberikan pengertian pendidikan dengan:
Bimbingan atau pimpinan secara sadar si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Lebih lanjut Ahmad D. Marimba mengungkapkan, bahwa dalam pendidikan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Usaha (kegiatan), usaha itu bersifat bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar;
2.      Ada pendidik, pembimbing, atau penolong;
3.      Ada yang dididik atau si terdidik;
4.      Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan;
5.      Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan. (Ahmad D. Marimba, 1987 : 19)
 K.H. Dewantara sebagaimana dikutip Suwarno (1985 : 2) memberikan definisi pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 dinyatakan, bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari beberapa pengertian pendidikan yang telah diuraikan di atas, meskipun berbeda secara redaksional, namun secara essensial terdapat kesatuan unsur-unsur atau faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian pendidikan tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, anak didik, tujuan dan sebagainya.
Dari gabungan dua pengertian, akhlak dan pendidikan, maka dapat diketeahui bahwa pendidikan akhlak adalah proses, perbuatan, tindakan, penanaman nilai-nilai perilaku budi pekerti, perangai, tingkah laku, baik terhadap Allah swt., sesama manusia, diri sendiri, dan alam sekitar yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil untuk memperkokoh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
v     Kosep Dasar Pendidikan Akhlak
Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik dan buruk, terpuji atau tercela, semata-mata berdasarkan kepada al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu, dasar dari pembinaan akhlak adalah al-Quran dan hadits.
Ajaran akhlak dalam Islam bersumber dari wahyu Allah swt., yang termaktub dalam al-Quran dan hadits. Di dalam al-Quran kira-kira seribu lima ratus ayat yang mengandung ajaran akhlak, baik yang teoritis maupun praktik. Demikian pula hadits-hadits Nabi, amat banyak jumlahnya yang memberikan pedoman akhlak (Yunahar Ilyas, 2002 : 12)
Bertitik tolak dari pengertian akhlak yang mengandung arti kelakukan, maka dapat dikatakan bahwa kelakuan manusia itu beraneka ragam sesuai dengan firman Allah swt. dalam Q.S. al-Lail: 4
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى (الليل : 4)
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (Depag RI, 1989 : 1067)
Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buurk serta obyeknya yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan (Quraish Shihab, 1998 : 253-254). Tidak dapat dipungkiri pada diri manusia terdapat dua potensi yaitu potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan firman Allah swt. pada Q.S. al-Balad : 10:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (البلد : 10)
“Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Depag RI, : 1989 : 1061)
Walaupun pada diri manusia ada dua potensi yaitu kebaikan dan keburukan, namun pada diri manusia ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia dari pada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. Kecenderungan manusia kepada kebaikan. Kecenderungan manusia kepada kebaikan lebih dominan disebabkan karena pada diri manusia ada potensi fitrah (kesucian) yang dibawa manusia sejak lahir (Quraish Shihab, 1998 : 254). Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخارى)
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka ayah dan ibunyalah yang akan menjadikan dia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. (Sahih Bukhari, Jilid 3, 1995 : 177)
Prinsip akhlak yang paling menonjol adalah bahwa manusia bebas melakukan tindakan-tindakannya, manusia punya kehendak untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Ia merasa bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukannya dan harus menjaga apa yang dihalalkan dan harus menjaga apa yang diharamkan Allah. Maka tanggung jawab pribadi ini merupakan prinsip akhlak yang paling menonjol dalam Islam dan semua urusan dan semua urusan keagamaan seseorang selalu disandarkan pada tanggung jawab pribadi (Ali Abdul Mahmud, tt. : 114). Allah swt, berfirman dalam Q.S. al-Muddatsir : 38:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ (المدثر : 38)
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya.” (Depag RI, 1989 : 995)
Juga dalam Q.S. al-An’am : 164:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى...(الأنعام : 164)
“… dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” (Depag RI, 1989 : 217)
Setiap tingkah laku seorang muslim harus disertasi keyakinan bahwa Allah swt.  melihat dan menghisab apa yang dilakukan atau ditinggalkannya, karena setiap muslim harus memiliki keyakinan bahwa tidak ada sesutu pun yang samar bagi Allah swt. Dari sinilah tanggung jawab pribadi seorang muslim (Ali Abdul Mahmud, tt. : 115).
Dengan demikian, nilai-nilai akhlak seorang muslim bersumber dari peraturan dan wahyu Allah swt. serta petunjuk Rasulullah saw. Materi peraturan ini tertulis dan tertanam di dalam hati setiap muslim yang taat kepada Allah serta mengharapkan keridaan-Nya. Karena itu, seorang muslim tidak perlu dibuatkan undang-undang akhlak dan untuk melaksanakan peraturan Allah swt. ini tidak perlu polisi yang mengawasinya, karena Allah swt. selalu mengawasinya dan setiap muslim yang baik akan senantiasa menempati kedudukan sebagai pemelihara dan penjaga peraturan-peraturan Allah swt.
v     Tujuan Pendidikan Akhlak
Para ahli pendidikan Islam berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi (1993 : 15) mengatakan:
“Pembinaan akhlak Islam adalah untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku, bersifat bijaksana, sopan dan beradab. Jiwa dari pendidikan Islam pembinaan moral atau akhlak.
Ibn Miskawaih dalam Abudin Nata (2001 : 11) merumuskan tujuan pendidikan akhlak yaitu:
Terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Jadi, tujuan pendidikan akhlak yang ingin dicapai bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak mulia ini sangat ditekankan karena di samping akan membawa kebahagiaan bagi individu, juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang, tujuannya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah swt. menggambarkan dalam al-quran tentang janji-Nya terhadap orang yang senantiasa berakhalak baik, di antaranya Q.S. an-Nahl : 97.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (النحل : 97)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.” (Depag RI, 1989 : 417)
Orang yang selalu melaksanakan akhlak mulia, mereka akan senantiasa memperoleh kehidupan yang baik, mendapatkan pahala berlipat ganda di akhirat dan akan dimasukkan ke dalam surga. Dengan demikian, orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat.
Kenyataan sosial membuktikan bahwa orang yang berkakhlak baik akan disukai oleh masyarakat, kesulitan dan penderitaannya akan dibantu untuk dipecahkan, walau mereka tidak mengharapkannya. Peluang, kepercayaan dan kesempatan datang silih berganti kepadanya. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa orang yang banyak menyumbang, bersedekah, berzakat tidak akan menjadi miskin, tetapi malah bertambah hartanya.
  
F.      Penutup
Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan sangat urgen. Hal ini dapat dilihat bahwa Rasulullah saw., menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok risalah Islamiyah, sebagaimana sabdanya:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه البيهقى)

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.” (H.R. Baihaqi)

Oleh karena itu, sudah kewajiban kita untuk belajar tentang akhlaq, sehingga kita bisa mengetahui dan berusaha untuk menjauhkan diri dari perbuatan akhlaq-akhlaq tercela (madzmumah) dan selalu berusaha dan berjuang menyuciukan jiwa untuk memperoleh al-Akhlaqu al-Karimah, dan semua itu akan didapatkan melalui pembelajaran dan pendidikan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhamad. 1989. Ihyâ Ulûm ad-Dîn. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr.
Anis, Ibrahim. 1975. Mu’jam al-Washît. Beirut: Dar al-Fikr.
AS., Ana Suryana. 2007. Materi Pendidikan Agama Islam. Tasikmalaya: STAI.
Atjeh, Abu Bakar, Prof., DR. 1991. Filsafat Akhlak dalam Islam. Semarang: Ramadhani.
Depag RI. 1989. Al-Quran dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putera.
Ma’luf, Louis. 1997. al-Munjîd fî Lughah wa al-A’lam. Cet. XXXVII. Beirut: Dar al-Masyriq.
Mahyuddin. 1999. Kuliah Tasawuf. Cet. III. Jakarta: Kalam Mulia.
Nata, Abudin. 2000. Akhlak Tasawuf. Cet. III. Jakarta: Raja Grafindo.

1 komentar:

  1. artikel yang cukup mencerdaskan, ijin baca ya dan unduh semoga amal baik anda diterima disisi-Nya

    BalasHapus