Oleh: Asep Bunyamin
A. Pendahuluan
Sebagai
lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat
penggembelengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan
kurikulum yang berbasis agama (Religion-based curriculum), pesantren
diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak menjadi figur agamawan yang
demikian tangguh dan mampu memainkan dan membiasakan peran profesinya pada
masyarakat secara umum.
Pesantren sebagai komunitas
dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di
berbagi pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam pembentukan
manusia Indonesia
yang religius. Lembaga tersebut telah melahirkan banyak pemimpin bangsa di masa
lalu, kini, dan agaknya juga di masa yang akan datang. Lulusan pesantren tak
pelak lagi, banyak yang mengambil partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa (Ahmad
Tafsir, 200:191)
Tujuan pendidikan pesantren
pada awal didirkannya, tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri
(murid), tetapi meninggikan moral (akhlak), melatih mempertinggi semangat,
menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan tingkah laku yang
jujur dan bermoral, dan mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana serta
bersih hati. Setiap santri dibiasakan agar menerima etika agama di atas
etika-etika lain. Tujuan pendidikan persantren pada masa ini, bukan untuk
mengejar kepemimpinan/kekuasaan, uang dan kehormatan atau keagungan duniawi,
tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa
belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) pada Allah swt.
Karena itu, pendidikan pesantren secara tidak langsung melatih untuk mandiri,
membina diri agar tidak tergantung kepada orang lain, kecuali kepada Tuhan,
untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan dapat saling tolong menolong dengan
sesama manusia (Pupuh Fathurrahman, 2000:104).
B. Pengertian Pesantren
Perkataan pesantren berasal dari kata santri,
dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para
santri (Yasmadi, 2005:61). Mengenai asal usul kata santri, tidak ada
kesepakatan di kalangan para peneliti. Sebagian mengatakan bahwa kata santri
berasal dari kata sastri, sebuah kata dari Bahasa Sansakerta yang
artinya melek huruf (Nurcholis Madjid, 1997 : 20). Sementara menurut
Zamakhsyari Dhofier (t.t.:18), kata santri adalah sebuah kata dalam
Bahasa India yang artinya adalah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu.
Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Robson berpendapat bahwa kata santri
berasal dari Bahasa Tamil “sattiri” yang berarti orang yang tinggal
di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum (Ainurrafiq,
t.t.:5).
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer
dengan sebutan pondok pesantren. Pondok berasal dari Bahasa Arab funduq,
yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal yang
sederhana (Hasbullah, 1996:138). Penggunaan gabungan kedua istilah tersebut secara integral, yakni pondok dan
pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasikan karakter keduanya.
Dengan demikian, pondok pesantren dapat diartikan
secara etimologi sebagai sebuah hotel, asrama, rumah, atau tempat tinggal
sederhana yang dihuni oleh orang yang melek huruf, tahu buku-buku suci agama.
Dan santri adalah orang yang melek huruf, mengetahui buku-buku suci agama yang
tinggal di hotel, asrama, rumah gubuk, atau bangunan keagamaan secara umum.
Adapun dalam terminologi Islam, M. Arifin
mendefinisikan pondok pesantren sebagai berikut:
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama
Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama
(komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem
pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan seorang atau
beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta
independen dalam segala hal” (M. Arifin, 1991:240)
Di samping itu, ada juga yang mendefinisikan
pesantren sebagai “lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari,
memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari” (Jamaludin
Malik, 2005 : 1).
Terminologi pesantren di atas, mengindikasikan
bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Menurut Nurcholish
Madjid (1985 : 3), secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tapi juga makna ke-Indonesia-an. Sebab cikal bakal pesantren sudah
ada pada masa Hindu-Budha, Islam hanya tinggal meneruskan, melestarikan, dan
mengislamkannya.
Sementara itu, Karel A. Steenbrink (1994:20)
menyatakan bahwa secara terminologis pendidikan pesantren dilihat dari bentuk
dan sistemnya berasal dari India. Ia mengemukakan alasan bahwa sebelum proses
penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan
pengajaran agama Hindu di Pulau Jawa. Setelah Islam masuk, sistem tersebut
diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji, bukanlah
berasal dari istilah Arab, melainkan dari India. Demikian juga istilah pondok,
langgar di Jawa, surau di Minangkabau, dan rangkang di Aceh, bukanlah merupakan
istilah Arab, melainkan dari istilah yang terdapat di India.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan
bahwa hakikat pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
menggunakan sistem asrama di bawah kedaulatan seorang atau beberapa orang kiai.
Atas dasar pengertian tersebut, maka lembaga pendidikan Islam yang
menggunakan sistem madrasah atau sekolah tidak dapat dikatagorikan sebagai
pondok pesantren. Kalaupun di sebagian pesantren terdapat sistem madrasah atau
sekolah, tetapi tidak sampai menghilangkan bentuk asli dari pesantren itu,
yakni sebagai lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem asrama.
C. Sejarah Pesantren
Keberadaan pondok pesantren sebagai basis penyebaran agama Islam di
Indonesia telah berjalan selama berabad-abad lamanya. Secara pasti tidak pernah
diketahui kapan pertama kali pola pendidikan semacam pesantren ini dimulai.
Memang, banyak ilmuwan yang bersilang pendapat tentang hal ini. Namun demikian,
hasil penelitian telah menduga bahwa benih-benih kemunculan pondok
pesantren sebagai pusat penyebaran
dakwah sekaligus sebagai pusat pengkaderan ulama, sudah ada sejak zaman Walisanga,
yaitu sekitar abad 15 M.
Pada masa awal kelahirannya, pondok pesantren tidaklah selengkap saat
ini, di mana ada lokal-lokal khusus tempat para santri tinggal, ada tim
pengurus, ada sistem administrasi, lengkap dengan peraturan-peraturan yang
harus dipatuhi oleh para santri. Diduga bahwa proses tumbuhnya suatu pesantren
di masa lalu, terutama di masyarakat pedesaan, dimulai dengan adanya pengakuan
suatu lingkungan masyarakat tertentu terhadap seseorang yang memiliki kelebihan
di bidang ilmu agama (Islam) dan diakui keshalihannya dalam kehidupan
keseharian, sehingga penduduk lingkungan itu banyak yang datang kepadanya untuk
belajar agama. Analisis lebih jauh, bahwa keberadaan sebuah pondok pesantren
secara utuh dengan memenuhi kriteria adanya kiai, santri, gedung tempat
tinggal, dan kitab yang dibacakan, baru ditemukan sekitar abad 18, tepatnya
pada masa Pemerintahan Pakubuwono II (Amin Haedari, dkk., 2004 : 3).
Sumber lain mengatakan, bahwa sebagai institusi pendidikan Islam tertua
di Indonesia,
pesantren memiliki akar sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikan
pesantren dapat dilacak, meskipun masih ada perbedaan pendapat di kalangan ahli
sejarah. Sebagian menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim dari Gujarat, India,
sebagai pendiri pesantren pertama di Pulau Jawa (Mahmud Junus, 1985 : 231). Ada juga yang menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat
sebagai pendiri pesantren pertama di Surabaya
(Muh. Said, dkk., 1987 : 53). Dan ada juga yang menyebut Sunan Gunung Djati
sebagai pendiri pesantren pertama di Cirebon, Jawa Barat (Mujammil Qomar, t.t.
: 8).
Lembaga Research Islam mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak
dasar sendi-sendi berdirinya pesantren, mengingat bahwa dia adalah orang yang
pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya di Pula Jawa. Sedangkan
Sunan Ampel sebagai wali pembina pertama pondok pesantren di Jawa Timur. Adapun
Sunan Gunung Djati, mungkin dia adalah orang yang pertama kali mendirikan
pesantren di Jawa Barat, khususnya di Cirebon
(Mujammil Qomar, t.t. : 8).
Sebagai model pendidikan yang memiliki karakter
khusus, sistem pendidikan pesantren telah mengundang spekulasi yang bermacam-macam.
Teori pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan
dari sistem pendidikan Hindu dan Budha yang telah ada di Indonesia sebelum Islam datang
(Musytofa Syarif, dkk., 1980 : 5). Teori kedua menyatakan bahwa model
pendidikan pesantren berasal dari sistem pendidikan di India. Pencetus teori kedua ini
mengemukakan alasan bahwa secara terminologis, pendidikan pesantren dilihat
dari bentuk dan sistemnya berasal dari India, karena istilah pesantren sendiri
seperti halnya mengaji bukan berasal dari Islam, melainkan dari istilah yang
yang terdapat di India. Di samping alasan terminologis di atas, persamaan
bentuk antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Indonesia juga bisa
dianggap sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal usul pendidikan pesantren
(Karl Steenbrink, 1994 : 21). Teori
ketiga mengatakan bahwa model pondok pesantren berasal dari sistem
pendidikan di Bagdad (Mahmud Yunus, 1987 : 87).
Teori keempat menilai bahwa sistem pendidikan pondok pesantren merupakan
perpaduan antara tiga sistem pendidikan; Sistem pendidikan Timur Tengah, sistem
pendidikan India, dan sistem
pendidikan tradisi lokal yang lebih tua (Indonesia) (Martin Van Bruinessen,
1995 : 22).
Dari teori-teori di atas, teori yang terakhir yang
menyatakan bahwa sistem pendidikan pondok pesantren merupakan perpaduan antara
sistem Timur Tengah, sistem India, dan sistem tradisi Indonesia nampaknya lebih
mudah difahami, mengingat bahwa ketiga tempat tersebut merupakan arus utama
dalam mempengaruhi terbentuknya sistem pendidikan pesantren. Timur Tengah
(Arab), merupakan tempat kelahiran Islam telah mengilhami segala bentuk
pengajaran dan pendidikan Islam. India, merupakan kawasan yang
menjadi daerah translit para penyebar Islam pada masa lalu. Sedangkan Indonesia
adalah daerah yang menjadi sasaran dakwah yang pada saat Islam masuk, negara
ini masih didominasi oleh sistem pendidikan Hindu-Budha yang sedikit banyak
mewarnai bahwan dijadikan pertimbangan dalam membangun sistem pendidikan
pesantren.
Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya
menekankan misi pendidikan, melainkan juga misi dakwah, bahkan justru misi
dakwah ini yang lebih menonjol. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia
ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah secara tepat
sasaran, sehingga sering terjadi benturan antara nilai-nilai yang dibawa oleh
pesantren dan budaya yang telah berakar kuat di masyarakat. Pesantren berjuang
melawan berbagai kemungkaran yang melekat di masyarakat, seperti takhayyul,
bid’ah, khurafat, dan berbagai perbuatan maksiat seperti
perkelahian, perampokan, pelacuran, perjudian, dan sebagainya. Dengan demikian,
pesantren tampil dengan membawa misi agama tauhid serta mengubah masyarakat
menjadi masyarakat yang aman, tentram, dan rajin beribadah.
Selain itu, terkadang pesantren menghadapi penyerangan
dari pihak penguasa yang merasa tersaingi kewibawaannya. Namun pesantren
berkembang terus sambil menghadapi rintangan demi rintangan, sehingga pada
tahap berikutnya, pesantren diterima oleh masyarakat sebagai upaya untuk
mencerdaskan dan meningkatkan kedamaian, sehingga tidak sedikit jika kemudian
pesantren menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya.
D. Tujuan Pesantren
Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan.
Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, di samping faktor-faktor lainnya
yang terkait; yaitu pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan
pendidikan. Keberadaan empat faktor tersebut tidak ada artinya bila tidak
diarahkan oleh suatu tujuan. Maka tidak diragukan lagi bahwa tujuan menempati
posisi yang amat penting dalam proses pendidikan, sehingga materi, metode, dan
alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan. Tujuan pendidikan yang tidak
jelas akan mengaburkan seluruh aspek pendidikan di atas dan pada akhirnya akan
menuai kegagalan.
Manfred Ziemek (1986:157) melihat pesantren dari sudut keterpaduan aspek
perilaku dan intelektual. Menurut pengamatannya, tujuan pesantren adalah
“membentuk kepribadian, memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan
pengetahuan”. Sementara Hiroko Horikoshi melihat pesantren dari segi
otonominya, sehingga menurutnya tujuan pendidikan pesantren adalah “untuk
melatih para santri memiliki kemampuan mandiri”.
Selanjutnya sesuai dengan jiwa kesederhanaan pesantren, dikatakan pula
bahwa tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim,
yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia,
bermanfaat bagi masyarakat atau sebagai pelayan masyarakat sebagaimana
kepribadian Nabi Muhammad saw., mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam
kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di
tengah-tengah masyarakat, serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian manusia (M. Shulton Masyhud, 2003:92).
Sedangkan Ali Ma’shum menyatakan bahwa tujuan pesantren adalah “untuk
mencetak ulama”. Pendapat tersebut ternyata melekat di masyarakat, khususnya
masyarakat tempo dulu. Sebab pelajaran-pelajaran yang disajikan di pesantren
hampir seluruhnya pelajaran agama, bahkan ulama yang menjadi panutan masyarakat
pun dapat dikatakan seluruhnya merupakan lulusan pesantren. Pendapat tersebut
cukup relevan bila diakitkan dengan awal perkembangan pesantren. Umpamanya
pesantren yang diasuh oleh para wali, jelas bertujuan mencetak ulama agar Islam
di Jawa khususnya bisa berkembang dengan lancar. Demikian juga misi pesantren
yang timbul kemudian adalah untuk mengembangkan umat Islam melalui pengkaderan
ulama (Mujammail Qomar, tt.:4-5).
Senada dengan pernyataan Ali Ma’shum,
betapapun besarnya perubahan yang terjadi dalam sistem pendidikan
pesantren, Muh. Ilyas Ruhiat (Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya)
masih melihat bahwa idaman utama pondok pesantren adalah menyiapkan kader-kader
kiai atau kader-kader ulama. Dengan kata lain, tugas atau kompetensi pesantren
adalah menumbuhkan potensi ke-kiai-an pada diri santri, sedangkan
masalah proses melahirkan potensi itu menjadi kenyataan adalah tanggung jawab
santri itu sendiri (K.H. M. Ilyas Ruhiat, dalam Majalah Pesantren, 1985:50).
Survei Nazaruddin dkk. (1986:12-13) melaporkan bahwa pada awal
perkembangannya, tujuan pondok pesantren adalah untuk mengembangkan
ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat (terutama kaum mudanya) agar mereka
lebih memahami ajaran-ajaran agama Islam, terutama dalam bidang fiqh, Bahasa
Arab, Tafsir, Hadits, dan Tasawuf.
Dari hasil penelusuran Ainurrafiq (tt.:6) dinyatakan bahwa pada sejarah
awalnya, pesantren didirikan dengan misi khusus. Pertama, sebagai wahana
kaderisasi ulama yang nantinya diharapkan mampu menyebarkan agama di
tengah-tengah masyarakat. Kedua, membentuk jiwa santri yang mempunyai
kualifikasi moral dan religius. Ketiga, menanamkan kesadaran holistik
bahwa belajar merupakan kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan, bukan untuk
meraih prestasi dan prestise dalam kehidupan duniawi.
Atas dasar itulah, maka tidak mengherankan kalau pada umumnya pengelola
pesantren tradisional hanya memiliki pendidikan terbatas dalam bidang agama
saja. Sedangkan pengetahuan dalam bidang ilmu-ilmu eksakta, pertanian,
peternakan, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya tidak dimiliki oleh umumnya
para pengelola pesantren.
Berdasarkan uraian di atas dapat
diketahui bahwa tujuan pesantren selalu mengalami perubahan dalam bentuk
penyempurnaan mengikuti tuntutan zaman, kecuali tujuannya sebagai tempat
mengajarkan agama Islam dan membentuk ulama yang kelak akan meneruskan
perjuangan dakwah di kalangan umat Islam. Namun dapat disimpulkan bahwa tujuan
pesantren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran
Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa,
dan negara.
E. Karakteristik Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren berbeda dengan
pendidikan lainnya, baik dari aspek sistem pendidikannya maupun unsur-unsur
pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya dapat
terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung sederhana dan
tradisional, sekalipun terdapat pesantren yang memadukan sistem pendidikannya
dengan sistem pendidikan modern.
Karakteristik umum pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga
dakwah, dan lembaga sosial dapat dilihat dari perangkat-perangkat keras (hardware)
dan perangkat lunak (software)-nya. Secara umum, pondok pesantren
memiliki perangkat-perangkat sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier,
meliputi lima
unsur; masjid, pengajaran kitab klasik, kiai, santri, dan asrama atau pondok
(Zamakhsyari Dhofier, t.t. 44-45).
Masjid
dianggap sebagai tempat yang tepat dan strategis untuk mendidik para santri,
terutama dalam praktik shalat berjama’ah, shalat jum’at, kegiatan ritual, dan
tempat pengajian. Masjid merupakan sentral kegiatan dalam tradisi pesantren. Pengajaran
kitab klasik, terutama di pesantren-pesantren salafiyah merupakan
satu-satunya pengajian formal yang diberikan di lingkungan pesantren. Tujuan
utamanya adalah mendidik para santri sebagai calon-calon kiai Kiai merupakan elemen yang paling
esensial dalam suatu pesantren. Tidak mungkin ada pesantren tanpa kiai, begitu
pula sebaliknya, kiai mesti memiliki pesantren. Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga
pesantren, karena sebuah lembaga tidak bisa disebut pesantren manakala tidak
ada santri yang belajar di lembaga tersebut. Pondok atau asrama
merupakan elemen lanjutan setelah pesantren mengalami perkembangan, santri yang
belajar semakin bertambah, bahkan banyak yang berasal dari luar daerah,
sedangkan rumah kiai yang biasa ditempati oleh para santri sudah tidak dapat
lagi menampungnya (Amin Haedari, t.t. : 6).
Adapun secara spesifik, karakteristik pondok pesantren dalam bentuknya
yang masih murni adalah sebagai berikut:
1.
Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan
kiainya.
2.
Adanya kepatuhan santri yang sangat tinggi kepada
kiainya
3.
Adanya pembiasaan hidup hemat dan sikap sederhana dalam
kehidupan duniawi
4.
Adanya penanaman sikap kemandirian yang sangat terasa
dalam memenuhi segala keperluan.
5.
Adanya jiwa tolong-menolong dan persaudaraan yang
sangat mewarnai pergaulan di pondok pesantren
6.
Adanya penekanan dan penanaman kedisiplinan dalam
ketepatan waktu shalat, kegiatan pendidikan, kegiatan peribadatan, dan dalam
perilaku sehari-hari
7.
Adanya pembiasaan hidup prihatin untuk mencapai tujuan
mulia, seperti tirakat, shalat tahajjud, riyadlah, dan
lain-lain.
8.
Adanya lingkungan pendidikan yang strategis untuk
penanaman sikap dan kehidupan beragama
yang baik, karena pesantren merupakan tempat pendidikan dan pengajaran agama
(Jamaludin Malik, t.t. : 20)
Selanjutnya Nurcholis Madjid dalam Abudin Nata (2001 : 113) mengemukakan
hal-hal lain yang melekat pada pondok pesantren, yaitu teosentrik, ikhlas dalam
pengabdian, kearifan, kesederhanaan, kolektifitas, mengatur kegiatan bersama,
kebebasan terpimpin, kemandirian, keyakinan bahwa belajar itu ibadah,
pengamalan ajaran agama, dan kepatuhan terhadap kiai.
Sementara Amin Haedari (2004 : 30-32), ketika ia hendak mengatakan bahwa
pendidikan pesantren dapat dijadikan jawaban dalam menghadapi krisis
kemanusiaan, ia mengemukakan beberapa alasan yang tiada lain adalah
karakteristik pondok pesantren.
Menurutnya pesantren memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Adanya keteladanan kiai dalam mengamalkan segala disiplin ilmu yang dimilikinya di dalam kehidupan keseharian kiai. Keteladanan ini merupakan kunci utama keberhasilan pesantren dalam membina para santri, khususnya dalam aspek afektif dan psikomotor.
- Adanya perhatian besar yang diberikan oleh kiai kepada para santrinya. Hal ini dapat melahirkan keakraban dan hubungan emosional yang tinggi antara santri dengan kiainya, dan bahkan dengan orang tua atau wali santri.
- Adanya tradisi kasih sayang, saling mencintai, saling menyayangi, dan saling menghormati antara sesama santri dan antara santri dengan kiainya. Hal ini merupakan acuan yang dijadikan standar utama di pondok pesantren
- Adanya penanaman sikap percaya dan tanggung jawab yang tinggi kepada para santri, terutama kepada santri-santri yang telah lama belajarnya di pondok pesantren.
- Adanya pembiasaan hidup bersama dalama mengerjakan suatu pekerjaan yang merupakan kepentingan bersama. Dalam kehidupan pesantren, santri sudah dilatih sejak dini untuk bekerjasama dengan sesama, seperti membuat jadwal petugas masak, jadwal petugas kebersihan kamar, dan lain-lain.
- Adanya pembiasaan untuk hidup disiplin dalam menjalankan tugas dan kewajiban dengan tepat waktu, seperti dalam kegiatan pengajian, mudzakarah, peribadatan, pembiasaan shalat berjama’ah, dan kegiatan lainnya.
Adanya penanaman aspek kemandirian santri. Hal ini benar-benar ditekankan
di pesantren. Segala macam keperluan santri harus dilakukan secara mandiri, jangan
bergantung kepada orang lain. Seperti masak, mencuci, membersihkan ruangan, dan
lain-lain.
F. Pembahasan
Pesantren di Indonesia termasuk pendidikan tertua,
meskipun secara pasti belum diketahui tahun pertama adanya pesantren, tetapi
setidak-tidaknya sebelum abad ke-16 M sudah ada cikal bakal pesantren di
Indonesia.
Menurut Directorate General Development of Islamic
Institutions, Departemen Agama RI tahun 2000 ada sekitar 11.312 pondok
pesantren yang sudah terdaftar, dengan jumlah santri sekitar 2.737.805 santri
yang belajar di dalamnya. Hasil pendidikan pesantren sampai sekarang sudah
banyak dilihat kemanfaatannya oleh masyarakat luas maupun oleh kalangan
pengamat. Mayoritas ulama membimbing perjalanan rohani umat Islam di Indonesia
sampai sekarang adalah jebolan pesantren.
Meskipun jika dihitung perbandingan antara jumlah
santri dengan jumlah “kyai” yang dapat dihasilkan pesantren relatif kecil
(belum tentu di antara 100 santri ada seorang yang dapat menjadi Kyai), namun
kenyataan sosial membuktikan bahwa pesantren telah cukup besar jasanya dalam
memproduksi manusia-manusia muslim yang taat dan shaleh, yang kuat
keterikatannya dengan ajaran dan tatanan agama Islam, baik mereka itu menjadi
petani, pedagang, nelayan, pejabat dan lain sebagainya, sehingga ada sebutan “Golongan
Santri” yang dibedakan dengan golongan abangan atau golongan priyayi,
meskipun sekarang penggolongan semacam itu sudah kabur.
Pendidikan pesantren selama ini memang ditekankan pada
penguasaan lmu-ilmu syari’ah, dengan kitab-kitab kuning sebagai literatur
dasar, dengan sistem dan metode kajian tradisional yaitu menghafal, mengenal
makna-makna harfiah dan menterjemahkan secara menguasai i'rabnya. Kadang-kadang
ada juga sistem diskusi atau musyawarah. Metoda yang lebih analisis dan sistematis
kurang berkembang, demikian juga metode komparasi (muqaranah). Di sisi
lain, pendidikan yang didasarkan pengalaman, keteladanan guru atau kyai, sangat
bagus. Kesederhanaan hidup, kederhanaan materi, kemandirian ditampilkan secara
alamiah di dalam pesantren, sehingga membentuk watak-watak merakyat di kalangan
para santri.
Ketertutupan terhadap perubahan-perubahan yang ada
masih terlihat dalam sikap-sikap dunia pesantren. Tujuannya antara lain untuk
meninggalkan pengaruh negatif budaya luar terhadap pesantren, di samping
pelestarian nilai-nilai kepesantrenan agar tidak mudah tercemar oleh
nilai-nilai lain yang dipandang mempunyai unsur disturktif atau merusak. Akibat
samping dari sikap ini ada lambatnya dunia pesantren dalam mengikuti
perkembangan sosial, keilmuan dan teknologi baru, termasuk metodologi
pengajaran dan informasi kemasyarakatan (belakangan usaha-usaha untuk membuka
diri sudah tambah kelihatan di beberapa pesantren).
Dunia pesantren diharapkan tetap mampu menjaga
identitasnya (kepribadiannya) sebagai wadah pendidikan Islam pada pusat kajian
ilmu-ilmu Syari’ah. Namun pesantren juga diharapkan lebih memiliki sifat
terbuka, berwawasan luas, kritis dan selektif, sehingga benar-enar menjadi
lembaga pendidikan yang mampu melakukan “Pelestarian nilai-nilai lama yang
baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.
G. Penutup
Menutup uraian makalah ini, sebagai saran, diharapkan
pesantren berperan dalam trilogi pengembangan potensi manusia secara berimbang,
proporsional sehingga akan lebih mampu melahirkan manusia-manusia yang disebut atqonnas,
yaitu manusia yang tinggi kualitas ketaqwaannya, afqohunnas, yaitu
manusia yang baik pemahaman agamanya, dan anfaunnas yaitu manusia yang
banyak memberikan kemanfaatan kepada umat.
DAFTAR
PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Relevansi
Pesantren dan Pengembangan Ilmu di Mata Datang, dalam Majalah Pesantren,
Edisi Perdana. Jakarta:
P3M.
Ghazali, M. Bahri. 2004. Pendidikan
Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta:
CV. Prasasti.
Haedari, Amin dkk. 2004. Panduan
Praktis Pelayanan Pondok Pesantren Pada Masyarakat Bidang Mu’amalah. Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI.
Hasbullah. 1996. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia,
Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, cet 2, Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1977. Bilik-bilik
Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina.
Mahduri, M. Anas dkk. 2003. Pola
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pondok Pesantren. Jakarta:
Depag, RI.
Masyhud, M. Sulthon dkk. 2003.
Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta:
Dwi Pustaka.
Nazaruddin dkk. 1986. Seri
Monografi Pondok Pesantren dan Angkatan Kerja. Jakarta:
Depag RI.
Qomar, Mujamil. tt. Pesantren
dari Transpormasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Ruhiat, M. Ilyas. 1985. Idaman
yang Perlu Diuji, dalam Majalah Pesantren, No. 1 Vol. II. Jakarta: P3M.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam
Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo. Jakarta: P3M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar