Selasa, 12 April 2011

PERAN PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA


Oleh: Asep Bunyamin

A.     Pendahuluan
Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggembelengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama (Religion-based curriculum), pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak menjadi figur agamawan yang demikian tangguh dan mampu memainkan dan membiasakan peran profesinya pada masyarakat secara umum.
Pesantren sebagai komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagi pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam pembentukan manusia Indonesia yang religius. Lembaga tersebut telah melahirkan banyak pemimpin bangsa di masa lalu, kini, dan agaknya juga di masa yang akan datang. Lulusan pesantren tak pelak lagi, banyak yang mengambil partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa (Ahmad Tafsir, 200:191)
Tujuan pendidikan pesantren pada awal didirkannya, tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri (murid), tetapi meninggikan moral (akhlak), melatih mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana serta bersih hati. Setiap santri dibiasakan agar menerima etika agama di atas etika-etika lain. Tujuan pendidikan persantren pada masa ini, bukan untuk mengejar kepemimpinan/kekuasaan, uang dan kehormatan atau keagungan duniawi, tetapi ditanamkan  kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) pada Allah swt. Karena itu, pendidikan pesantren secara tidak langsung melatih untuk mandiri, membina diri agar tidak tergantung kepada orang lain, kecuali kepada Tuhan, untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan dapat saling tolong menolong dengan sesama manusia (Pupuh Fathurrahman, 2000:104).
B.     Pengertian Pesantren
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri (Yasmadi, 2005:61). Mengenai asal usul kata santri, tidak ada kesepakatan di kalangan para peneliti. Sebagian mengatakan bahwa kata santri berasal dari kata sastri, sebuah kata dari Bahasa Sansakerta yang artinya melek huruf (Nurcholis Madjid, 1997 : 20). Sementara menurut Zamakhsyari Dhofier (t.t.:18), kata santri adalah sebuah kata dalam Bahasa India yang artinya adalah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari Bahasa Tamil “sattiri” yang berarti orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum (Ainurrafiq, t.t.:5).
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pondok berasal dari Bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal yang sederhana (Hasbullah, 1996:138). Penggunaan gabungan kedua istilah  tersebut secara integral, yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasikan karakter keduanya.
Dengan demikian, pondok pesantren dapat diartikan secara etimologi sebagai sebuah hotel, asrama, rumah, atau tempat tinggal sederhana yang dihuni oleh orang yang melek huruf, tahu buku-buku suci agama. Dan santri adalah orang yang melek huruf, mengetahui buku-buku suci agama yang tinggal di hotel, asrama, rumah gubuk, atau bangunan keagamaan secara umum.
Adapun dalam terminologi Islam, M. Arifin mendefinisikan pondok pesantren sebagai berikut:
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal” (M. Arifin, 1991:240)
Di samping itu, ada juga yang mendefinisikan pesantren sebagai “lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari” (Jamaludin Malik, 2005 : 1).
Terminologi pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Menurut Nurcholish Madjid (1985 : 3), secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tapi juga makna ke-Indonesia-an. Sebab cikal bakal pesantren sudah ada pada masa Hindu-Budha, Islam hanya tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.
Sementara itu, Karel A. Steenbrink (1994:20) menyatakan bahwa secara terminologis pendidikan pesantren dilihat dari bentuk dan sistemnya berasal dari India. Ia mengemukakan alasan bahwa sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Pulau Jawa. Setelah Islam masuk, sistem tersebut diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji, bukanlah berasal dari istilah Arab, melainkan dari India. Demikian juga istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau, dan rangkang di Aceh, bukanlah merupakan istilah Arab, melainkan dari istilah yang terdapat di India.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa hakikat pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem asrama di bawah kedaulatan seorang atau beberapa orang kiai. Atas dasar pengertian tersebut, maka lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem madrasah atau sekolah tidak dapat dikatagorikan sebagai pondok pesantren. Kalaupun di sebagian pesantren terdapat sistem madrasah atau sekolah, tetapi tidak sampai menghilangkan bentuk asli dari pesantren itu, yakni sebagai lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem asrama.


C.     Sejarah Pesantren
Keberadaan pondok pesantren sebagai basis penyebaran agama Islam di Indonesia telah berjalan selama berabad-abad lamanya. Secara pasti tidak pernah diketahui kapan pertama kali pola pendidikan semacam pesantren ini dimulai. Memang, banyak ilmuwan yang bersilang pendapat tentang hal ini. Namun demikian, hasil penelitian telah menduga bahwa benih-benih kemunculan pondok pesantren  sebagai pusat penyebaran dakwah sekaligus sebagai pusat pengkaderan ulama, sudah ada sejak zaman Walisanga, yaitu sekitar abad 15 M.
Pada masa awal kelahirannya, pondok pesantren tidaklah selengkap saat ini, di mana ada lokal-lokal khusus tempat para santri tinggal, ada tim pengurus, ada sistem administrasi, lengkap dengan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh para santri. Diduga bahwa proses tumbuhnya suatu pesantren di masa lalu, terutama di masyarakat pedesaan, dimulai dengan adanya pengakuan suatu lingkungan masyarakat tertentu terhadap seseorang yang memiliki kelebihan di bidang ilmu agama (Islam) dan diakui keshalihannya dalam kehidupan keseharian, sehingga penduduk lingkungan itu banyak yang datang kepadanya untuk belajar agama. Analisis lebih jauh, bahwa keberadaan sebuah pondok pesantren secara utuh dengan memenuhi kriteria adanya kiai, santri, gedung tempat tinggal, dan kitab yang dibacakan, baru ditemukan sekitar abad 18, tepatnya pada masa Pemerintahan Pakubuwono II (Amin Haedari, dkk., 2004 : 3).
Sumber lain mengatakan, bahwa sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren memiliki akar sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikan pesantren dapat dilacak, meskipun masih ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah. Sebagian menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim dari Gujarat, India, sebagai pendiri pesantren pertama di Pulau Jawa (Mahmud Junus, 1985 : 231). Ada juga yang menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Surabaya (Muh. Said, dkk., 1987 : 53). Dan ada juga yang menyebut Sunan Gunung Djati sebagai pendiri pesantren pertama di Cirebon, Jawa Barat (Mujammil Qomar, t.t. : 8).
Lembaga Research Islam mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar sendi-sendi berdirinya pesantren, mengingat bahwa dia adalah orang yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya di Pula Jawa. Sedangkan Sunan Ampel sebagai wali pembina pertama pondok pesantren di Jawa Timur. Adapun Sunan Gunung Djati, mungkin dia adalah orang yang pertama kali mendirikan pesantren di Jawa Barat, khususnya di Cirebon (Mujammil Qomar, t.t. : 8).
Sebagai model pendidikan yang memiliki karakter khusus, sistem pendidikan pesantren telah mengundang spekulasi yang bermacam-macam. Teori pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan dari sistem pendidikan Hindu dan Budha yang telah ada di Indonesia sebelum Islam datang (Musytofa Syarif, dkk., 1980 : 5). Teori kedua menyatakan bahwa model pendidikan pesantren berasal dari sistem pendidikan di India. Pencetus teori kedua ini mengemukakan alasan bahwa secara terminologis, pendidikan pesantren dilihat dari bentuk dan sistemnya berasal dari India, karena istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji bukan berasal dari Islam, melainkan dari istilah yang yang terdapat di India. Di samping alasan terminologis di atas, persamaan bentuk antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Indonesia juga bisa dianggap sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal usul pendidikan pesantren (Karl Steenbrink, 1994 : 21).  Teori ketiga mengatakan bahwa model pondok pesantren berasal dari sistem pendidikan di Bagdad (Mahmud Yunus, 1987 : 87). Teori keempat menilai bahwa sistem pendidikan pondok pesantren merupakan perpaduan antara tiga sistem pendidikan; Sistem pendidikan Timur Tengah, sistem pendidikan India, dan sistem pendidikan tradisi lokal yang lebih tua (Indonesia) (Martin Van Bruinessen, 1995 : 22).
Dari teori-teori di atas, teori yang terakhir yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pondok pesantren merupakan perpaduan antara sistem Timur Tengah, sistem India, dan sistem tradisi Indonesia nampaknya lebih mudah difahami, mengingat bahwa ketiga tempat tersebut merupakan arus utama dalam mempengaruhi terbentuknya sistem pendidikan pesantren. Timur Tengah (Arab), merupakan tempat kelahiran Islam telah mengilhami segala bentuk pengajaran dan pendidikan Islam. India, merupakan kawasan yang menjadi daerah translit para penyebar Islam pada masa lalu. Sedangkan Indonesia adalah daerah yang menjadi sasaran dakwah yang pada saat Islam masuk, negara ini masih didominasi oleh sistem pendidikan Hindu-Budha yang sedikit banyak mewarnai bahwan dijadikan pertimbangan dalam membangun sistem pendidikan pesantren.
Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga misi dakwah, bahkan justru misi dakwah ini yang lebih menonjol. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah secara tepat sasaran, sehingga sering terjadi benturan antara nilai-nilai yang dibawa oleh pesantren dan budaya yang telah berakar kuat di masyarakat. Pesantren berjuang melawan berbagai kemungkaran yang melekat di masyarakat, seperti takhayyul, bid’ah, khurafat, dan berbagai perbuatan maksiat seperti perkelahian, perampokan, pelacuran, perjudian, dan sebagainya. Dengan demikian, pesantren tampil dengan membawa misi agama tauhid serta mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang aman, tentram, dan rajin beribadah.
Selain itu, terkadang pesantren menghadapi penyerangan dari pihak penguasa yang merasa tersaingi kewibawaannya. Namun pesantren berkembang terus sambil menghadapi rintangan demi rintangan, sehingga pada tahap berikutnya, pesantren diterima oleh masyarakat sebagai upaya untuk mencerdaskan dan meningkatkan kedamaian, sehingga tidak sedikit jika kemudian pesantren menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya.

D.    Tujuan Pesantren
Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, di samping faktor-faktor lainnya yang terkait; yaitu pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Keberadaan empat faktor tersebut tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Maka tidak diragukan lagi bahwa tujuan menempati posisi yang amat penting dalam proses pendidikan, sehingga materi, metode, dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan. Tujuan pendidikan yang tidak jelas akan mengaburkan seluruh aspek pendidikan di atas dan pada akhirnya akan menuai kegagalan.
Manfred Ziemek (1986:157) melihat pesantren dari sudut keterpaduan aspek perilaku dan intelektual. Menurut pengamatannya, tujuan pesantren adalah “membentuk kepribadian, memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan pengetahuan”. Sementara Hiroko Horikoshi melihat pesantren dari segi otonominya, sehingga menurutnya tujuan pendidikan pesantren adalah “untuk melatih para santri memiliki kemampuan mandiri”.
Selanjutnya sesuai dengan jiwa kesederhanaan pesantren, dikatakan pula bahwa tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau sebagai pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad saw., mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat, serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia (M. Shulton Masyhud, 2003:92).
Sedangkan Ali Ma’shum menyatakan bahwa tujuan pesantren adalah “untuk mencetak ulama”. Pendapat tersebut ternyata melekat di masyarakat, khususnya masyarakat tempo dulu. Sebab pelajaran-pelajaran yang disajikan di pesantren hampir seluruhnya pelajaran agama, bahkan ulama yang menjadi panutan masyarakat pun dapat dikatakan seluruhnya merupakan lulusan pesantren. Pendapat tersebut cukup relevan bila diakitkan dengan awal perkembangan pesantren. Umpamanya pesantren yang diasuh oleh para wali, jelas bertujuan mencetak ulama agar Islam di Jawa khususnya bisa berkembang dengan lancar. Demikian juga misi pesantren yang timbul kemudian adalah untuk mengembangkan umat Islam melalui pengkaderan ulama (Mujammail Qomar, tt.:4-5).
Senada dengan pernyataan Ali Ma’shum,  betapapun besarnya perubahan yang terjadi dalam sistem pendidikan pesantren, Muh. Ilyas Ruhiat (Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya) masih melihat bahwa idaman utama pondok pesantren adalah menyiapkan kader-kader kiai atau kader-kader ulama. Dengan kata lain, tugas atau kompetensi pesantren adalah menumbuhkan potensi ke-kiai-an pada diri santri, sedangkan masalah proses melahirkan potensi itu menjadi kenyataan adalah tanggung jawab santri itu sendiri (K.H. M. Ilyas Ruhiat, dalam Majalah Pesantren, 1985:50).
Survei Nazaruddin dkk. (1986:12-13) melaporkan bahwa pada awal perkembangannya, tujuan pondok pesantren adalah untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat (terutama kaum mudanya) agar mereka lebih memahami ajaran-ajaran agama Islam, terutama dalam bidang fiqh, Bahasa Arab, Tafsir, Hadits, dan Tasawuf.
Dari hasil penelusuran Ainurrafiq (tt.:6) dinyatakan bahwa pada sejarah awalnya, pesantren didirikan dengan misi khusus. Pertama, sebagai wahana kaderisasi ulama yang nantinya diharapkan mampu menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat. Kedua, membentuk jiwa santri yang mempunyai kualifikasi moral dan religius. Ketiga, menanamkan kesadaran holistik bahwa belajar merupakan kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan, bukan untuk meraih prestasi dan prestise dalam kehidupan duniawi.
Atas dasar itulah, maka tidak mengherankan kalau pada umumnya pengelola pesantren tradisional hanya memiliki pendidikan terbatas dalam bidang agama saja. Sedangkan pengetahuan dalam bidang ilmu-ilmu eksakta, pertanian, peternakan, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya tidak dimiliki oleh umumnya para pengelola pesantren.
Berdasarkan uraian di atas  dapat diketahui bahwa tujuan pesantren selalu mengalami perubahan dalam bentuk penyempurnaan mengikuti tuntutan zaman, kecuali tujuannya sebagai tempat mengajarkan agama Islam dan membentuk ulama yang kelak akan meneruskan perjuangan dakwah di kalangan umat Islam. Namun dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa, dan negara.

E.     Karakteristik Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren berbeda dengan pendidikan lainnya, baik dari aspek sistem pendidikannya maupun unsur-unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya dapat terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisional, sekalipun terdapat pesantren yang memadukan sistem pendidikannya dengan sistem pendidikan modern.
Karakteristik umum pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga sosial dapat dilihat dari perangkat-perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software)-nya. Secara umum, pondok pesantren memiliki perangkat-perangkat sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier, meliputi lima unsur; masjid, pengajaran kitab klasik, kiai, santri, dan asrama atau pondok (Zamakhsyari Dhofier, t.t. 44-45).
Masjid dianggap sebagai tempat yang tepat dan strategis untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat berjama’ah, shalat jum’at, kegiatan ritual, dan tempat pengajian. Masjid merupakan sentral kegiatan dalam tradisi pesantren. Pengajaran kitab klasik, terutama di pesantren-pesantren salafiyah merupakan satu-satunya pengajian formal yang diberikan di lingkungan pesantren. Tujuan utamanya adalah mendidik para santri sebagai calon-calon kiai  Kiai merupakan elemen yang paling esensial dalam suatu pesantren. Tidak mungkin ada pesantren tanpa kiai, begitu pula sebaliknya, kiai mesti memiliki pesantren. Santri  merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren, karena sebuah lembaga tidak bisa disebut pesantren manakala tidak ada santri yang belajar di lembaga tersebut. Pondok atau asrama merupakan elemen lanjutan setelah pesantren mengalami perkembangan, santri yang belajar semakin bertambah, bahkan banyak yang berasal dari luar daerah, sedangkan rumah kiai yang biasa ditempati oleh para santri sudah tidak dapat lagi menampungnya (Amin Haedari, t.t. : 6).
Adapun secara spesifik, karakteristik pondok pesantren dalam bentuknya yang masih murni adalah sebagai berikut:
1.      Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya.
2.      Adanya kepatuhan santri yang sangat tinggi kepada kiainya
3.      Adanya pembiasaan hidup hemat dan sikap sederhana dalam kehidupan duniawi
4.      Adanya penanaman sikap kemandirian yang sangat terasa dalam memenuhi segala  keperluan.
5.      Adanya jiwa tolong-menolong dan persaudaraan yang sangat mewarnai pergaulan di pondok pesantren
6.      Adanya penekanan dan penanaman kedisiplinan dalam ketepatan waktu shalat, kegiatan pendidikan, kegiatan peribadatan, dan dalam perilaku sehari-hari
7.      Adanya pembiasaan hidup prihatin untuk mencapai tujuan mulia, seperti tirakat, shalat tahajjud, riyadlah, dan lain-lain.
8.      Adanya lingkungan pendidikan yang strategis untuk penanaman sikap  dan kehidupan beragama yang baik, karena pesantren merupakan tempat pendidikan dan pengajaran agama (Jamaludin Malik, t.t. : 20)
Selanjutnya Nurcholis Madjid dalam Abudin Nata (2001 : 113) mengemukakan hal-hal lain yang melekat pada pondok pesantren, yaitu teosentrik, ikhlas dalam pengabdian, kearifan, kesederhanaan, kolektifitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, kemandirian, keyakinan bahwa belajar itu ibadah, pengamalan ajaran agama, dan kepatuhan terhadap kiai.
Sementara Amin Haedari (2004 : 30-32), ketika ia hendak mengatakan bahwa pendidikan pesantren dapat dijadikan jawaban dalam menghadapi krisis kemanusiaan, ia mengemukakan beberapa alasan yang tiada lain adalah karakteristik pondok pesantren.  Menurutnya pesantren memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. Adanya keteladanan kiai dalam mengamalkan segala disiplin ilmu yang dimilikinya di dalam kehidupan keseharian kiai. Keteladanan ini merupakan kunci utama keberhasilan pesantren dalam membina para santri, khususnya dalam aspek afektif dan psikomotor.
  2. Adanya perhatian besar yang diberikan oleh kiai kepada para santrinya. Hal ini dapat melahirkan keakraban dan hubungan emosional yang tinggi antara santri dengan kiainya, dan bahkan dengan orang tua atau wali santri.
  3. Adanya tradisi kasih sayang, saling mencintai, saling menyayangi, dan saling menghormati antara sesama santri dan antara santri dengan kiainya. Hal ini merupakan acuan yang dijadikan standar utama di pondok pesantren
  4. Adanya penanaman sikap percaya dan tanggung jawab yang tinggi kepada para santri, terutama kepada santri-santri yang telah lama belajarnya di pondok pesantren.
  5. Adanya pembiasaan hidup bersama dalama mengerjakan suatu pekerjaan yang merupakan kepentingan bersama. Dalam kehidupan pesantren, santri sudah dilatih sejak dini untuk bekerjasama dengan sesama, seperti membuat jadwal petugas masak, jadwal petugas kebersihan kamar, dan lain-lain.
  6. Adanya pembiasaan untuk hidup disiplin dalam menjalankan tugas dan kewajiban dengan tepat waktu, seperti dalam kegiatan pengajian, mudzakarah, peribadatan, pembiasaan shalat berjama’ah, dan kegiatan lainnya.
Adanya penanaman aspek kemandirian santri. Hal ini benar-benar ditekankan di pesantren. Segala macam keperluan santri harus dilakukan secara mandiri, jangan bergantung kepada orang lain. Seperti masak, mencuci, membersihkan ruangan, dan lain-lain.




F.      Pembahasan
Pesantren di Indonesia termasuk pendidikan tertua, meskipun secara pasti belum diketahui tahun pertama adanya pesantren, tetapi setidak-tidaknya sebelum abad ke-16 M sudah ada cikal bakal pesantren di Indonesia.
Menurut Directorate General Development of Islamic Institutions, Departemen Agama RI tahun 2000 ada sekitar 11.312 pondok pesantren yang sudah terdaftar, dengan jumlah santri sekitar 2.737.805 santri yang belajar di dalamnya. Hasil pendidikan pesantren sampai sekarang sudah banyak dilihat kemanfaatannya oleh masyarakat luas maupun oleh kalangan pengamat. Mayoritas ulama membimbing perjalanan rohani umat Islam di Indonesia sampai sekarang adalah jebolan pesantren.
Meskipun jika dihitung perbandingan antara jumlah santri dengan jumlah “kyai” yang dapat dihasilkan pesantren relatif kecil (belum tentu di antara 100 santri ada seorang yang dapat menjadi Kyai), namun kenyataan sosial membuktikan bahwa pesantren telah cukup besar jasanya dalam memproduksi manusia-manusia muslim yang taat dan shaleh, yang kuat keterikatannya dengan ajaran dan tatanan agama Islam, baik mereka itu menjadi petani, pedagang, nelayan, pejabat dan lain sebagainya, sehingga ada sebutan “Golongan Santri” yang dibedakan dengan golongan abangan atau golongan priyayi, meskipun sekarang penggolongan semacam itu sudah kabur.
Pendidikan pesantren selama ini memang ditekankan pada penguasaan lmu-ilmu syari’ah, dengan kitab-kitab kuning sebagai literatur dasar, dengan sistem dan metode kajian tradisional yaitu menghafal, mengenal makna-makna harfiah dan menterjemahkan secara menguasai i'rabnya. Kadang-kadang ada juga sistem diskusi atau musyawarah. Metoda yang lebih analisis dan sistematis kurang berkembang, demikian juga metode komparasi (muqaranah). Di sisi lain, pendidikan yang didasarkan pengalaman, keteladanan guru atau kyai, sangat bagus. Kesederhanaan hidup, kederhanaan materi, kemandirian ditampilkan secara alamiah di dalam pesantren, sehingga membentuk watak-watak merakyat di kalangan para santri.
Ketertutupan terhadap perubahan-perubahan yang ada masih terlihat dalam sikap-sikap dunia pesantren. Tujuannya antara lain untuk meninggalkan pengaruh negatif budaya luar terhadap pesantren, di samping pelestarian nilai-nilai kepesantrenan agar tidak mudah tercemar oleh nilai-nilai lain yang dipandang mempunyai unsur disturktif atau merusak. Akibat samping dari sikap ini ada lambatnya dunia pesantren dalam mengikuti perkembangan sosial, keilmuan dan teknologi baru, termasuk metodologi pengajaran dan informasi kemasyarakatan (belakangan usaha-usaha untuk membuka diri sudah tambah kelihatan di beberapa pesantren).
Dunia pesantren diharapkan tetap mampu menjaga identitasnya (kepribadiannya) sebagai wadah pendidikan Islam pada pusat kajian ilmu-ilmu Syari’ah. Namun pesantren juga diharapkan lebih memiliki sifat terbuka, berwawasan luas, kritis dan selektif, sehingga benar-enar menjadi lembaga pendidikan yang mampu melakukan “Pelestarian nilai-nilai lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.

G.    Penutup
Menutup uraian makalah ini, sebagai saran, diharapkan pesantren berperan dalam trilogi pengembangan potensi manusia secara berimbang, proporsional sehingga akan lebih mampu melahirkan manusia-manusia yang disebut atqonnas, yaitu manusia yang tinggi kualitas ketaqwaannya, afqohunnas, yaitu manusia yang baik pemahaman agamanya, dan anfaunnas yaitu manusia yang banyak memberikan kemanfaatan kepada umat.


DAFTAR PUSTAKA

Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Relevansi Pesantren dan Pengembangan Ilmu di Mata Datang, dalam Majalah Pesantren, Edisi Perdana. Jakarta: P3M.
Ghazali, M. Bahri. 2004. Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: CV. Prasasti.
Haedari, Amin dkk. 2004. Panduan Praktis Pelayanan Pondok Pesantren Pada Masyarakat Bidang Mu’amalah. Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI.
Hasbullah. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, cet 2, Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1977. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Mahduri, M. Anas dkk. 2003. Pola Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pondok Pesantren. Jakarta: Depag, RI.
Masyhud, M. Sulthon dkk. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Dwi Pustaka.
Nazaruddin dkk. 1986. Seri Monografi Pondok Pesantren dan Angkatan Kerja. Jakarta: Depag RI.
Qomar, Mujamil. tt. Pesantren dari Transpormasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Ruhiat, M. Ilyas. 1985. Idaman yang Perlu Diuji, dalam Majalah Pesantren, No. 1 Vol. II. Jakarta: P3M.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo. Jakarta: P3M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar