Minggu, 17 April 2011

FUNGSI AKHLAK BAGI KEHIDUPAN MANUSIA


A.     Latar Belakang
Dalam ajaran Islam ada tiga komponen yang merupakan tiang utama bagi kekokohan keberagamaan seseorang, ketiga komponen tersebut adalah Islam, iman dan ihsan. Islam adalah ajaran yang di dalamnya terdapat lima pokok ajaran yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan iman adalah sebuah ajaran yang berhubungan dengan keyakinan hati, di dalamnya terdapat enam inti ajaran yaitu kepercayaan terhadap Allah, malaikat, para rasul, kitab-kitab, hari akhir, qada dan qadar. Adapun ihsan adalah sebuah ajaran yang menekankan adanya kemurnian dan ketulusan dalam merealisasikan penyembahan dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta. Kemurnian dan ketulusan ini berangkat dari jiwa yang memiliki nilai-nilai karimah, dan adanya nilai-nilai karimah ini dalam Islam termasuk kategori tujuan pembentukan akhlak Islam. Dengan demikian, ajaran ihsan rapat hubungannya dengan akhlak, yakni sebuah keadaan yang tertanam pada jiwa manusia.
Dalam Islam, akhlak menempati posisi yang sangat penting, karena kesempurnaan Islam seseorang sangat tergantung kepada kebaikan dan kemuliaan akhlaknya. Manusia yang dikehendaki Islam adalah manusia yang memiliki akhlak mulia, manusia yang memiliki akhlak mulialah yang akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat.
Oleh karena hal tersebut di atas, dalam al-Quran banyak mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan akhlaq, baik berupa perintah untuk berakhlaq yang baik, maupun larangan berakhlaq yang buruk serta celaan dan dosa bagi orang yang melanggarnya. Hal ini membuktikan betapa pentingnya akhlaq dalam ajaran Islam, karena akhlaq yang baik (mahmudah) akan membawa kemasalahatan dan kemuliaan kehidupan.

B.     Pengertian Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1989 21) akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Secara etimologis, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Louis Ma’luf,  1997 : 164).
Secara terminologi, akhlak adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تَصْدُرُ اْلأَفْعَالُ بِسُهُوْلِةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
”Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan menurut al-Ghazali.” (1989 : 58).
Definisi yang diberikan oleh al-Ghazali ada kemiripan dengan definsi yang diberikan Ibrahim Anis (1975 : 2002) yaitu:
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lebih lanjut. Imam al-Ghazali memberikan ilustrasi dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din (loc. Op. cit) bahwa bila seseorang dalam menerima tamu dan membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lainnya, atau kadangkala lembut dan kadangkala tidak, maka orang tersebut belum bisa dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya tanpa melihat latar belakang tamunya.
Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat, watak atau kesusilaan. Sedangkan moral yaitu mos jamaknya mores adalah kata latin yang berarti adat atau cara hidup. Meskipun kedua istilah tersebut mempunyai kesamaan pengertian dalam percakapan sehari-hari, namun di sisi lain mempunyai unsur perbedaan. Istilah etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada, karena etika merupakan suatu ilmu. Istilah moral digunakan untuk memberikan kriteria perbuatan yang sedang dinilai. Karena itu, moral bukan suatu ilmu tetapi merupakan suatu perbuatan manusia (Mahyuddin, 1999 : 2).
Kedua istilah di atas, sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Namun perbedaannya terletak pada dasar yang dipakai dalam menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Akhlak dasarnya al-Quran dalam menentukan baik dan buruk, sedangkan etika dasarnya pertimbangan akal pikiran dan moral dasarnya adalah kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat (Asmara, 1992 : 9).
Dalam Islam, yang menjadi dasar atau alat pengukur yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik atau buruk adalah al-Quran dan as-sunnah. Apa yang baik menurut al-Quran dan Sunnah, itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, apa yang buruk menurut al-Quran dan Sunnah berarti tidak baik dan harus dijauhi. Pribadi Nabi Muhammad saw. adalah contoh yang paling tepat untuk dijadikan teladan dalam membentuk pribadi masing-masing. Begitu juga pribadi sahabat-sahabat beliau, dapat kita jadikan contoh teladan, karena mereka semua mempedomani al-Quran dan Sunnah Nabi saw. (Ali Hasan, 1982:11).
Akhlak terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.   Akhlak mahmudah, ialah segala tingkah laku yang terpuji (yang baik) yang biasa dinamakan ”fadlilah” (kelebihan (Hamzah Ya’qub, 1996:95). Akhlak yang baik umpamanya: benar, amanah, menepati janji, sabar (tabah), pemaaf, pemurah, dan lain-lain sifat dan sikap yang baik (M. Ali Hasan, 1982:10).
b.  Akhlak madzmumah, yang berarti tingkah laku yang tercela atau aklak yang jahat (qabihah) yang menurut istilah al-Ghazali disebut ”muhlikat”, artinya segala sesuatu yang membinasakan atau mencelakakan (Hamzah Ya’qub, 1996:95). Akhlak yang buruk umpamanya: sombong (takabbur), dengki, dendam, mengadu domba, ghibah, riya, khianat, dan lain-lain sifat dan sikap yang jelek (M. Ali Hasan, 1982:10).

C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak
Untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi akhlak pada khususnya, dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer, yaitu aliran Nativisme, aliran Empirisme, dan aliran konvergensi.
Menurut aliran Nativisme, bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya (M. Ngalim Purwanto, 2007:59).
Menurut aliran ini, faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik (Abudin Nata, 2006:167).
Selanjutnya, menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada anak baik, maka baiklah anak itu. Demikian juga sebaliknya. Aliran ini begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran (Abudin Nata, 2006:167).
Menurut aliran ini, manusia-manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun ke arah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidikannya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis (M. Ngalim Purwanto, 2007:59).
Aliran lain, yaitu aliran konvergensi berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawan si anak, dan faktor luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode (M. Arifin, 1991:113).
Aliran yang ketiga ini, tampak sesuai dengan ajaran Islam. hal ini dapat dipahami dari ayat dan hadits di bawah ini:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِّنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيْأً وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Depag RI, 1989 : 413)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajara dan pendidikan (Abudin Nata, 2006:168).
Kesesuaian teori konvergensi tersebut di atas, juga sejalan dengan dengan Hadits Nabi saw. yang berbunyi:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخارى)
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka ayah dan ibunyalah yang akan menjadikan dia seorang yahudi atu nasrani“.(Sahih Bukhari, Jilid 3, 1995 : 177).
Ayat dan hadits tesebut di atas, selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa pelaksana utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah sebabnya kedua orang tua, khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan (Abudin Nata, 2006:169).
Dengan merujuk kepada aliran konvergensi di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi akhlak manusia, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Menurut Shailun A. Nashir (1992:42) faktor intern yang mempengaruhi akhlak terdiri atas instink, akal dan nafsu. Sedangkan menurut Rahmat Djatnika (1992:72) faktor dari dalam diri manusia itu adalah instink dan akalnya, adat, kepercayaan, keinginan-keinginan, hawa nafsu (passion) dan hati nurani atau wijdan. Selain itu, faktor intern yang dapat mempengaruhi akhlak juga terdapat dalam diri individu yang bersangkutan, seperti malas, tidak mau bekerja, adanya cacat fisik, cacat psikis dan lainnya.
Adapun faktor yang berasal dari luar dirinya secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, semua yang sampai kepadanya merupakan unsur-unsur yang membentuk akhlak. Faktor-faktor tersebut adalah:
-        Keturunan.
-        Lingkungan.
-        Rumah tangga.
-        Sekolah.
-        Pergaulan kawan, persahabatan.
-        Penguasa, pemimpin (Rahmat Djatnika, 1992:73)
Lingkungan merupakan salah satu faktor dari luar yang besar pengaruhnya tehadap tingkah laku seseorang. Lingkungan ini bisa berupa lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, juga lingkungan alam. Dalam hal ini, Hamzah Ya’qub (1996:71) membagi lingkungan atas dua bagian, yaitu:
a.       Lingkungan Alam yang Bersifat Kebendaan
Lingkungan alam yang besifat kebendaan merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan alam ini dapat mematahkan dan mematangkan pertumbuhan bakat seseorang, namun jika kondisi alamnya jelek akan menjadi perintang dalam mematangkan bakat seseorang. Oleh karena itu, kondisi alam ini ikut mencetak manusia-manusia yang dipangkunya. Misalnya, orang yang hidupnya di pantai akan berbeda kehidupan dan perilakunya dengan orang yang hidup di pegunungan.
b.      Lingkungan pergaulan yang bersifat rohaniah
Lingkungan pergaulan sesama manusia sangat mempengaruhi terjadinya perbuatan manusia, karena antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya saling mempengaruhi dalam pikiran sifat, dan tingkah laku. Lingkungan pergaulan ini dapat dibagi kepada beberapa kategori:
-        Lingkungan dalam rumah tangga;
-        Lingkungan sekolah;
-        Lingkungan pekerjaan;
-        Lingkungan organisasi atau jamaah;
-        Lingkungan yang bersifat umum dan bebas, misalnya seseorang yang bergaul dengan pecandu obat bius, maka diapun akan menjadi pecandu obat bius juga. Sebaliknya, jika remaja itu bergaul dengan sesama remaja dalam bidang-bidang kebajikan, niscaya pikirannya, sifatnya dan tingkah lakunya akan terbawa kepada kebaikan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa akhlak yang menghiasi seseorang tidak terlepas dari pengaruh yang terdapat dalam dirinya, berupa potensi-potensi yang dibawanya sejak lahir, dan pengaruh yang datang dari luar, yaitu berupa lingkungan dan pendidikan yang diterimanya.

D.    Akhlak Karimah dalam Kaitannya dengan Fungsi Hidup
Akhlakul yang baik (al-akhlaqu al-mahmudah) sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan akhlak tersebut bisa menyeimbangkan antara antara akhlak yang baik dengan akhlak yang buruk pada perbuatan manusia, maka ukuran dan karakternya selalu dinamis, sulit dipecahkan.
Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak mulia ini sangat ditekankan karena di samping akan membawa kebahagiaan bagi individu, juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang, tujuannya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Abudin Nata, 2000:169-170).
Allah Swt. menggambarkan dalam al-Quran tentang janji-Nya terhadap orang yang senantiasa berakhlak baik, di antaranya Q.S. an-Nahl:97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ  (النحل:97)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Orang yang selalu melaksanakan akhlak mulia, mereka akan senantiasa memperoleh kehidupan yang baik, mendapatkan pahala berlipat ganda di akhirat dan akan dimasukkan ke dalam sorga. Dengan demikian, orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat.
Kenyataan sosial membuktikan bahwa orang yang berakhlak baik akan disukai oleh masyarakat, kesulitan dan penderitaannya akan dibantu untuk dipecahkan, walau mereka tidak mengharapkannya. Peluang, kepercayaan dan kesempatan datang silih berganti kepadanya. Kenyataan juga menunjukkan bahwa orang yang banyak menyumbang, bersedekah, berzakat, tidak akan menjadi miskin, tetapi malah bertambah hartanya.
Akhlak karimah merupakan suatu pengamalan yang bersifat ibadah di mana seseorang dalam perilakunya dituntut untuk berbuat baik terhadap Allah swt. dan berbuat baik terhadap manusia, juga terhadap dirinya sendiri, juga terhadap makhluk Allah yang lainnya (Ana Suryana, 2007:73).
Dalam pada itu, Ana Suryana (2007:73-74) mengelompokkan akhlak di atas sebagai berikut:
1.      Akhlak yang baik kepada Allah:
-        Cinta kepada Allah swt.
-        Taqwa kepada Allah swt.
-        Mengharap keridlaan Allah swt.
-        Tawakkal kepada Allah swt.
2.      Akhlak yang baik terhadap sesama manusia:
-        Berbuat baik terhadap ibu dan bapak.
-        Berbuat baik terhadap teman.
-        Berbuat baik terhadap sahabat.
3.      Akhlak baik terhadap diri sendiri:
-        Menjaga lahir batin.
-        Harus berani membela yang baik.
-        Rajin bekerja dan mengamalkan ilmunya.
-        Bergaul dengan orang baik.
-        Berusaha mencari nafkah yang halal.
-        Jujur dan benar dalam perilaku.
4.      Akhlak yang baik terhadap sesama makhluk Allah.
-        Sayang terhadap binatang.
-        Sayang terhadap tumbuh-tumbuhan.

E.     Pendidikan Akhlak
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, isitlah atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh dewasa agar ia menjadi dewasa (Hasbullah, 2008 : 1). Di samping itu juga, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman N., dkk., 1992 : 4)
Sementara itu, Ahmad D. Marimba, 1987 : 19) memberikan pengertian pendidikan dengan:
Bimbingan atau pimpinan secara sadar si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Lebih lanjut Ahmad D. Marimba mengungkapkan, bahwa dalam pendidikan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Usaha (kegiatan), usaha itu bersifat bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar;
2.      Ada pendidik, pembimbing, atau penolong;
3.      Ada yang dididik atau si terdidik;
4.      Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan;
5.      Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan. (Ahmad D. Marimba, 1987 : 19)
 K.H. Dewantara sebagaimana dikutip Suwarno (1985 : 2) memberikan definisi pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 dinyatakan, bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari beberapa pengertian pendidikan yang telah diuraikan di atas, meskipun berbeda secara redaksional, namun secara essensial terdapat kesatuan unsur-unsur atau faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian pendidikan tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, anak didik, tujuan dan sebagainya.
Dari gabungan dua pengertian, akhlak dan pendidikan, maka dapat diketeahui bahwa pendidikan akhlak adalah proses, perbuatan, tindakan, penanaman nilai-nilai perilaku budi pekerti, perangai, tingkah laku, baik terhadap Allah swt., sesama manusia, diri sendiri, dan alam sekitar yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil untuk memperkokoh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
v     Kosep Dasar Pendidikan Akhlak
Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik dan buruk, terpuji atau tercela, semata-mata berdasarkan kepada al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu, dasar dari pembinaan akhlak adalah al-Quran dan hadits.
Ajaran akhlak dalam Islam bersumber dari wahyu Allah swt., yang termaktub dalam al-Quran dan hadits. Di dalam al-Quran kira-kira seribu lima ratus ayat yang mengandung ajaran akhlak, baik yang teoritis maupun praktik. Demikian pula hadits-hadits Nabi, amat banyak jumlahnya yang memberikan pedoman akhlak (Yunahar Ilyas, 2002 : 12)
Bertitik tolak dari pengertian akhlak yang mengandung arti kelakukan, maka dapat dikatakan bahwa kelakuan manusia itu beraneka ragam sesuai dengan firman Allah swt. dalam Q.S. al-Lail: 4
إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى (الليل : 4)
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.” (Depag RI, 1989 : 1067)
Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buurk serta obyeknya yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan (Quraish Shihab, 1998 : 253-254). Tidak dapat dipungkiri pada diri manusia terdapat dua potensi yaitu potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan firman Allah swt. pada Q.S. al-Balad : 10:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ (البلد : 10)
“Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Depag RI, : 1989 : 1061)
Walaupun pada diri manusia ada dua potensi yaitu kebaikan dan keburukan, namun pada diri manusia ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia dari pada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. Kecenderungan manusia kepada kebaikan. Kecenderungan manusia kepada kebaikan lebih dominan disebabkan karena pada diri manusia ada potensi fitrah (kesucian) yang dibawa manusia sejak lahir (Quraish Shihab, 1998 : 254). Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخارى)
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka ayah dan ibunyalah yang akan menjadikan dia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. (Sahih Bukhari, Jilid 3, 1995 : 177)
Prinsip akhlak yang paling menonjol adalah bahwa manusia bebas melakukan tindakan-tindakannya, manusia punya kehendak untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Ia merasa bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukannya dan harus menjaga apa yang dihalalkan dan harus menjaga apa yang diharamkan Allah. Maka tanggung jawab pribadi ini merupakan prinsip akhlak yang paling menonjol dalam Islam dan semua urusan dan semua urusan keagamaan seseorang selalu disandarkan pada tanggung jawab pribadi (Ali Abdul Mahmud, tt. : 114). Allah swt, berfirman dalam Q.S. al-Muddatsir : 38:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌ (المدثر : 38)
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya.” (Depag RI, 1989 : 995)
Juga dalam Q.S. al-An’am : 164:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى...(الأنعام : 164)
“… dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” (Depag RI, 1989 : 217)
Setiap tingkah laku seorang muslim harus disertasi keyakinan bahwa Allah swt.  melihat dan menghisab apa yang dilakukan atau ditinggalkannya, karena setiap muslim harus memiliki keyakinan bahwa tidak ada sesutu pun yang samar bagi Allah swt. Dari sinilah tanggung jawab pribadi seorang muslim (Ali Abdul Mahmud, tt. : 115).
Dengan demikian, nilai-nilai akhlak seorang muslim bersumber dari peraturan dan wahyu Allah swt. serta petunjuk Rasulullah saw. Materi peraturan ini tertulis dan tertanam di dalam hati setiap muslim yang taat kepada Allah serta mengharapkan keridaan-Nya. Karena itu, seorang muslim tidak perlu dibuatkan undang-undang akhlak dan untuk melaksanakan peraturan Allah swt. ini tidak perlu polisi yang mengawasinya, karena Allah swt. selalu mengawasinya dan setiap muslim yang baik akan senantiasa menempati kedudukan sebagai pemelihara dan penjaga peraturan-peraturan Allah swt.
v     Tujuan Pendidikan Akhlak
Para ahli pendidikan Islam berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak. Muhammad Athiyah al-Abrasyi (1993 : 15) mengatakan:
“Pembinaan akhlak Islam adalah untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku, bersifat bijaksana, sopan dan beradab. Jiwa dari pendidikan Islam pembinaan moral atau akhlak.
Ibn Miskawaih dalam Abudin Nata (2001 : 11) merumuskan tujuan pendidikan akhlak yaitu:
Terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Jadi, tujuan pendidikan akhlak yang ingin dicapai bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak mulia ini sangat ditekankan karena di samping akan membawa kebahagiaan bagi individu, juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang, tujuannya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah swt. menggambarkan dalam al-quran tentang janji-Nya terhadap orang yang senantiasa berakhalak baik, di antaranya Q.S. an-Nahl : 97.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (النحل : 97)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.” (Depag RI, 1989 : 417)
Orang yang selalu melaksanakan akhlak mulia, mereka akan senantiasa memperoleh kehidupan yang baik, mendapatkan pahala berlipat ganda di akhirat dan akan dimasukkan ke dalam surga. Dengan demikian, orang yang berakhlak mulia akan mendapatkan keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat.
Kenyataan sosial membuktikan bahwa orang yang berkakhlak baik akan disukai oleh masyarakat, kesulitan dan penderitaannya akan dibantu untuk dipecahkan, walau mereka tidak mengharapkannya. Peluang, kepercayaan dan kesempatan datang silih berganti kepadanya. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa orang yang banyak menyumbang, bersedekah, berzakat tidak akan menjadi miskin, tetapi malah bertambah hartanya.
  
F.      Penutup
Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan sangat urgen. Hal ini dapat dilihat bahwa Rasulullah saw., menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok risalah Islamiyah, sebagaimana sabdanya:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه البيهقى)

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.” (H.R. Baihaqi)

Oleh karena itu, sudah kewajiban kita untuk belajar tentang akhlaq, sehingga kita bisa mengetahui dan berusaha untuk menjauhkan diri dari perbuatan akhlaq-akhlaq tercela (madzmumah) dan selalu berusaha dan berjuang menyuciukan jiwa untuk memperoleh al-Akhlaqu al-Karimah, dan semua itu akan didapatkan melalui pembelajaran dan pendidikan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhamad. 1989. Ihyâ Ulûm ad-Dîn. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr.
Anis, Ibrahim. 1975. Mu’jam al-Washît. Beirut: Dar al-Fikr.
AS., Ana Suryana. 2007. Materi Pendidikan Agama Islam. Tasikmalaya: STAI.
Atjeh, Abu Bakar, Prof., DR. 1991. Filsafat Akhlak dalam Islam. Semarang: Ramadhani.
Depag RI. 1989. Al-Quran dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putera.
Ma’luf, Louis. 1997. al-Munjîd fî Lughah wa al-A’lam. Cet. XXXVII. Beirut: Dar al-Masyriq.
Mahyuddin. 1999. Kuliah Tasawuf. Cet. III. Jakarta: Kalam Mulia.
Nata, Abudin. 2000. Akhlak Tasawuf. Cet. III. Jakarta: Raja Grafindo.

Selasa, 12 April 2011

PERAN PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA


Oleh: Asep Bunyamin

A.     Pendahuluan
Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama, pesantren pada mulanya merupakan pusat penggembelengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Dengan menyediakan kurikulum yang berbasis agama (Religion-based curriculum), pesantren diharapkan mampu melahirkan alumni yang kelak menjadi figur agamawan yang demikian tangguh dan mampu memainkan dan membiasakan peran profesinya pada masyarakat secara umum.
Pesantren sebagai komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagi pelosok tanah air telah banyak memberikan saham dalam pembentukan manusia Indonesia yang religius. Lembaga tersebut telah melahirkan banyak pemimpin bangsa di masa lalu, kini, dan agaknya juga di masa yang akan datang. Lulusan pesantren tak pelak lagi, banyak yang mengambil partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa (Ahmad Tafsir, 200:191)
Tujuan pendidikan pesantren pada awal didirkannya, tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri (murid), tetapi meninggikan moral (akhlak), melatih mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana serta bersih hati. Setiap santri dibiasakan agar menerima etika agama di atas etika-etika lain. Tujuan pendidikan persantren pada masa ini, bukan untuk mengejar kepemimpinan/kekuasaan, uang dan kehormatan atau keagungan duniawi, tetapi ditanamkan  kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) pada Allah swt. Karena itu, pendidikan pesantren secara tidak langsung melatih untuk mandiri, membina diri agar tidak tergantung kepada orang lain, kecuali kepada Tuhan, untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan dapat saling tolong menolong dengan sesama manusia (Pupuh Fathurrahman, 2000:104).
B.     Pengertian Pesantren
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri (Yasmadi, 2005:61). Mengenai asal usul kata santri, tidak ada kesepakatan di kalangan para peneliti. Sebagian mengatakan bahwa kata santri berasal dari kata sastri, sebuah kata dari Bahasa Sansakerta yang artinya melek huruf (Nurcholis Madjid, 1997 : 20). Sementara menurut Zamakhsyari Dhofier (t.t.:18), kata santri adalah sebuah kata dalam Bahasa India yang artinya adalah orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari Bahasa Tamil “sattiri” yang berarti orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum (Ainurrafiq, t.t.:5).
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pondok berasal dari Bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal yang sederhana (Hasbullah, 1996:138). Penggunaan gabungan kedua istilah  tersebut secara integral, yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasikan karakter keduanya.
Dengan demikian, pondok pesantren dapat diartikan secara etimologi sebagai sebuah hotel, asrama, rumah, atau tempat tinggal sederhana yang dihuni oleh orang yang melek huruf, tahu buku-buku suci agama. Dan santri adalah orang yang melek huruf, mengetahui buku-buku suci agama yang tinggal di hotel, asrama, rumah gubuk, atau bangunan keagamaan secara umum.
Adapun dalam terminologi Islam, M. Arifin mendefinisikan pondok pesantren sebagai berikut:
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal” (M. Arifin, 1991:240)
Di samping itu, ada juga yang mendefinisikan pesantren sebagai “lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari” (Jamaludin Malik, 2005 : 1).
Terminologi pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Menurut Nurcholish Madjid (1985 : 3), secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tapi juga makna ke-Indonesia-an. Sebab cikal bakal pesantren sudah ada pada masa Hindu-Budha, Islam hanya tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.
Sementara itu, Karel A. Steenbrink (1994:20) menyatakan bahwa secara terminologis pendidikan pesantren dilihat dari bentuk dan sistemnya berasal dari India. Ia mengemukakan alasan bahwa sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Pulau Jawa. Setelah Islam masuk, sistem tersebut diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji, bukanlah berasal dari istilah Arab, melainkan dari India. Demikian juga istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau, dan rangkang di Aceh, bukanlah merupakan istilah Arab, melainkan dari istilah yang terdapat di India.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa hakikat pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem asrama di bawah kedaulatan seorang atau beberapa orang kiai. Atas dasar pengertian tersebut, maka lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem madrasah atau sekolah tidak dapat dikatagorikan sebagai pondok pesantren. Kalaupun di sebagian pesantren terdapat sistem madrasah atau sekolah, tetapi tidak sampai menghilangkan bentuk asli dari pesantren itu, yakni sebagai lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem asrama.


C.     Sejarah Pesantren
Keberadaan pondok pesantren sebagai basis penyebaran agama Islam di Indonesia telah berjalan selama berabad-abad lamanya. Secara pasti tidak pernah diketahui kapan pertama kali pola pendidikan semacam pesantren ini dimulai. Memang, banyak ilmuwan yang bersilang pendapat tentang hal ini. Namun demikian, hasil penelitian telah menduga bahwa benih-benih kemunculan pondok pesantren  sebagai pusat penyebaran dakwah sekaligus sebagai pusat pengkaderan ulama, sudah ada sejak zaman Walisanga, yaitu sekitar abad 15 M.
Pada masa awal kelahirannya, pondok pesantren tidaklah selengkap saat ini, di mana ada lokal-lokal khusus tempat para santri tinggal, ada tim pengurus, ada sistem administrasi, lengkap dengan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh para santri. Diduga bahwa proses tumbuhnya suatu pesantren di masa lalu, terutama di masyarakat pedesaan, dimulai dengan adanya pengakuan suatu lingkungan masyarakat tertentu terhadap seseorang yang memiliki kelebihan di bidang ilmu agama (Islam) dan diakui keshalihannya dalam kehidupan keseharian, sehingga penduduk lingkungan itu banyak yang datang kepadanya untuk belajar agama. Analisis lebih jauh, bahwa keberadaan sebuah pondok pesantren secara utuh dengan memenuhi kriteria adanya kiai, santri, gedung tempat tinggal, dan kitab yang dibacakan, baru ditemukan sekitar abad 18, tepatnya pada masa Pemerintahan Pakubuwono II (Amin Haedari, dkk., 2004 : 3).
Sumber lain mengatakan, bahwa sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren memiliki akar sejarah yang jelas. Orang yang pertama kali mendirikan pesantren dapat dilacak, meskipun masih ada perbedaan pendapat di kalangan ahli sejarah. Sebagian menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim dari Gujarat, India, sebagai pendiri pesantren pertama di Pulau Jawa (Mahmud Junus, 1985 : 231). Ada juga yang menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Surabaya (Muh. Said, dkk., 1987 : 53). Dan ada juga yang menyebut Sunan Gunung Djati sebagai pendiri pesantren pertama di Cirebon, Jawa Barat (Mujammil Qomar, t.t. : 8).
Lembaga Research Islam mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar sendi-sendi berdirinya pesantren, mengingat bahwa dia adalah orang yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya di Pula Jawa. Sedangkan Sunan Ampel sebagai wali pembina pertama pondok pesantren di Jawa Timur. Adapun Sunan Gunung Djati, mungkin dia adalah orang yang pertama kali mendirikan pesantren di Jawa Barat, khususnya di Cirebon (Mujammil Qomar, t.t. : 8).
Sebagai model pendidikan yang memiliki karakter khusus, sistem pendidikan pesantren telah mengundang spekulasi yang bermacam-macam. Teori pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan dari sistem pendidikan Hindu dan Budha yang telah ada di Indonesia sebelum Islam datang (Musytofa Syarif, dkk., 1980 : 5). Teori kedua menyatakan bahwa model pendidikan pesantren berasal dari sistem pendidikan di India. Pencetus teori kedua ini mengemukakan alasan bahwa secara terminologis, pendidikan pesantren dilihat dari bentuk dan sistemnya berasal dari India, karena istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji bukan berasal dari Islam, melainkan dari istilah yang yang terdapat di India. Di samping alasan terminologis di atas, persamaan bentuk antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Indonesia juga bisa dianggap sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal usul pendidikan pesantren (Karl Steenbrink, 1994 : 21).  Teori ketiga mengatakan bahwa model pondok pesantren berasal dari sistem pendidikan di Bagdad (Mahmud Yunus, 1987 : 87). Teori keempat menilai bahwa sistem pendidikan pondok pesantren merupakan perpaduan antara tiga sistem pendidikan; Sistem pendidikan Timur Tengah, sistem pendidikan India, dan sistem pendidikan tradisi lokal yang lebih tua (Indonesia) (Martin Van Bruinessen, 1995 : 22).
Dari teori-teori di atas, teori yang terakhir yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pondok pesantren merupakan perpaduan antara sistem Timur Tengah, sistem India, dan sistem tradisi Indonesia nampaknya lebih mudah difahami, mengingat bahwa ketiga tempat tersebut merupakan arus utama dalam mempengaruhi terbentuknya sistem pendidikan pesantren. Timur Tengah (Arab), merupakan tempat kelahiran Islam telah mengilhami segala bentuk pengajaran dan pendidikan Islam. India, merupakan kawasan yang menjadi daerah translit para penyebar Islam pada masa lalu. Sedangkan Indonesia adalah daerah yang menjadi sasaran dakwah yang pada saat Islam masuk, negara ini masih didominasi oleh sistem pendidikan Hindu-Budha yang sedikit banyak mewarnai bahwan dijadikan pertimbangan dalam membangun sistem pendidikan pesantren.
Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, melainkan juga misi dakwah, bahkan justru misi dakwah ini yang lebih menonjol. Lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia ini selalu mencari lokasi yang sekiranya dapat menyalurkan dakwah secara tepat sasaran, sehingga sering terjadi benturan antara nilai-nilai yang dibawa oleh pesantren dan budaya yang telah berakar kuat di masyarakat. Pesantren berjuang melawan berbagai kemungkaran yang melekat di masyarakat, seperti takhayyul, bid’ah, khurafat, dan berbagai perbuatan maksiat seperti perkelahian, perampokan, pelacuran, perjudian, dan sebagainya. Dengan demikian, pesantren tampil dengan membawa misi agama tauhid serta mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang aman, tentram, dan rajin beribadah.
Selain itu, terkadang pesantren menghadapi penyerangan dari pihak penguasa yang merasa tersaingi kewibawaannya. Namun pesantren berkembang terus sambil menghadapi rintangan demi rintangan, sehingga pada tahap berikutnya, pesantren diterima oleh masyarakat sebagai upaya untuk mencerdaskan dan meningkatkan kedamaian, sehingga tidak sedikit jika kemudian pesantren menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya.

D.    Tujuan Pesantren
Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, di samping faktor-faktor lainnya yang terkait; yaitu pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Keberadaan empat faktor tersebut tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Maka tidak diragukan lagi bahwa tujuan menempati posisi yang amat penting dalam proses pendidikan, sehingga materi, metode, dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan. Tujuan pendidikan yang tidak jelas akan mengaburkan seluruh aspek pendidikan di atas dan pada akhirnya akan menuai kegagalan.
Manfred Ziemek (1986:157) melihat pesantren dari sudut keterpaduan aspek perilaku dan intelektual. Menurut pengamatannya, tujuan pesantren adalah “membentuk kepribadian, memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan pengetahuan”. Sementara Hiroko Horikoshi melihat pesantren dari segi otonominya, sehingga menurutnya tujuan pendidikan pesantren adalah “untuk melatih para santri memiliki kemampuan mandiri”.
Selanjutnya sesuai dengan jiwa kesederhanaan pesantren, dikatakan pula bahwa tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau sebagai pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad saw., mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat, serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia (M. Shulton Masyhud, 2003:92).
Sedangkan Ali Ma’shum menyatakan bahwa tujuan pesantren adalah “untuk mencetak ulama”. Pendapat tersebut ternyata melekat di masyarakat, khususnya masyarakat tempo dulu. Sebab pelajaran-pelajaran yang disajikan di pesantren hampir seluruhnya pelajaran agama, bahkan ulama yang menjadi panutan masyarakat pun dapat dikatakan seluruhnya merupakan lulusan pesantren. Pendapat tersebut cukup relevan bila diakitkan dengan awal perkembangan pesantren. Umpamanya pesantren yang diasuh oleh para wali, jelas bertujuan mencetak ulama agar Islam di Jawa khususnya bisa berkembang dengan lancar. Demikian juga misi pesantren yang timbul kemudian adalah untuk mengembangkan umat Islam melalui pengkaderan ulama (Mujammail Qomar, tt.:4-5).
Senada dengan pernyataan Ali Ma’shum,  betapapun besarnya perubahan yang terjadi dalam sistem pendidikan pesantren, Muh. Ilyas Ruhiat (Pimpinan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya) masih melihat bahwa idaman utama pondok pesantren adalah menyiapkan kader-kader kiai atau kader-kader ulama. Dengan kata lain, tugas atau kompetensi pesantren adalah menumbuhkan potensi ke-kiai-an pada diri santri, sedangkan masalah proses melahirkan potensi itu menjadi kenyataan adalah tanggung jawab santri itu sendiri (K.H. M. Ilyas Ruhiat, dalam Majalah Pesantren, 1985:50).
Survei Nazaruddin dkk. (1986:12-13) melaporkan bahwa pada awal perkembangannya, tujuan pondok pesantren adalah untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat (terutama kaum mudanya) agar mereka lebih memahami ajaran-ajaran agama Islam, terutama dalam bidang fiqh, Bahasa Arab, Tafsir, Hadits, dan Tasawuf.
Dari hasil penelusuran Ainurrafiq (tt.:6) dinyatakan bahwa pada sejarah awalnya, pesantren didirikan dengan misi khusus. Pertama, sebagai wahana kaderisasi ulama yang nantinya diharapkan mampu menyebarkan agama di tengah-tengah masyarakat. Kedua, membentuk jiwa santri yang mempunyai kualifikasi moral dan religius. Ketiga, menanamkan kesadaran holistik bahwa belajar merupakan kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan, bukan untuk meraih prestasi dan prestise dalam kehidupan duniawi.
Atas dasar itulah, maka tidak mengherankan kalau pada umumnya pengelola pesantren tradisional hanya memiliki pendidikan terbatas dalam bidang agama saja. Sedangkan pengetahuan dalam bidang ilmu-ilmu eksakta, pertanian, peternakan, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya tidak dimiliki oleh umumnya para pengelola pesantren.
Berdasarkan uraian di atas  dapat diketahui bahwa tujuan pesantren selalu mengalami perubahan dalam bentuk penyempurnaan mengikuti tuntutan zaman, kecuali tujuannya sebagai tempat mengajarkan agama Islam dan membentuk ulama yang kelak akan meneruskan perjuangan dakwah di kalangan umat Islam. Namun dapat disimpulkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa, dan negara.

E.     Karakteristik Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren berbeda dengan pendidikan lainnya, baik dari aspek sistem pendidikannya maupun unsur-unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya dapat terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisional, sekalipun terdapat pesantren yang memadukan sistem pendidikannya dengan sistem pendidikan modern.
Karakteristik umum pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga sosial dapat dilihat dari perangkat-perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software)-nya. Secara umum, pondok pesantren memiliki perangkat-perangkat sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier, meliputi lima unsur; masjid, pengajaran kitab klasik, kiai, santri, dan asrama atau pondok (Zamakhsyari Dhofier, t.t. 44-45).
Masjid dianggap sebagai tempat yang tepat dan strategis untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat berjama’ah, shalat jum’at, kegiatan ritual, dan tempat pengajian. Masjid merupakan sentral kegiatan dalam tradisi pesantren. Pengajaran kitab klasik, terutama di pesantren-pesantren salafiyah merupakan satu-satunya pengajian formal yang diberikan di lingkungan pesantren. Tujuan utamanya adalah mendidik para santri sebagai calon-calon kiai  Kiai merupakan elemen yang paling esensial dalam suatu pesantren. Tidak mungkin ada pesantren tanpa kiai, begitu pula sebaliknya, kiai mesti memiliki pesantren. Santri  merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren, karena sebuah lembaga tidak bisa disebut pesantren manakala tidak ada santri yang belajar di lembaga tersebut. Pondok atau asrama merupakan elemen lanjutan setelah pesantren mengalami perkembangan, santri yang belajar semakin bertambah, bahkan banyak yang berasal dari luar daerah, sedangkan rumah kiai yang biasa ditempati oleh para santri sudah tidak dapat lagi menampungnya (Amin Haedari, t.t. : 6).
Adapun secara spesifik, karakteristik pondok pesantren dalam bentuknya yang masih murni adalah sebagai berikut:
1.      Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya.
2.      Adanya kepatuhan santri yang sangat tinggi kepada kiainya
3.      Adanya pembiasaan hidup hemat dan sikap sederhana dalam kehidupan duniawi
4.      Adanya penanaman sikap kemandirian yang sangat terasa dalam memenuhi segala  keperluan.
5.      Adanya jiwa tolong-menolong dan persaudaraan yang sangat mewarnai pergaulan di pondok pesantren
6.      Adanya penekanan dan penanaman kedisiplinan dalam ketepatan waktu shalat, kegiatan pendidikan, kegiatan peribadatan, dan dalam perilaku sehari-hari
7.      Adanya pembiasaan hidup prihatin untuk mencapai tujuan mulia, seperti tirakat, shalat tahajjud, riyadlah, dan lain-lain.
8.      Adanya lingkungan pendidikan yang strategis untuk penanaman sikap  dan kehidupan beragama yang baik, karena pesantren merupakan tempat pendidikan dan pengajaran agama (Jamaludin Malik, t.t. : 20)
Selanjutnya Nurcholis Madjid dalam Abudin Nata (2001 : 113) mengemukakan hal-hal lain yang melekat pada pondok pesantren, yaitu teosentrik, ikhlas dalam pengabdian, kearifan, kesederhanaan, kolektifitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, kemandirian, keyakinan bahwa belajar itu ibadah, pengamalan ajaran agama, dan kepatuhan terhadap kiai.
Sementara Amin Haedari (2004 : 30-32), ketika ia hendak mengatakan bahwa pendidikan pesantren dapat dijadikan jawaban dalam menghadapi krisis kemanusiaan, ia mengemukakan beberapa alasan yang tiada lain adalah karakteristik pondok pesantren.  Menurutnya pesantren memiliki karakteristik sebagai berikut:
  1. Adanya keteladanan kiai dalam mengamalkan segala disiplin ilmu yang dimilikinya di dalam kehidupan keseharian kiai. Keteladanan ini merupakan kunci utama keberhasilan pesantren dalam membina para santri, khususnya dalam aspek afektif dan psikomotor.
  2. Adanya perhatian besar yang diberikan oleh kiai kepada para santrinya. Hal ini dapat melahirkan keakraban dan hubungan emosional yang tinggi antara santri dengan kiainya, dan bahkan dengan orang tua atau wali santri.
  3. Adanya tradisi kasih sayang, saling mencintai, saling menyayangi, dan saling menghormati antara sesama santri dan antara santri dengan kiainya. Hal ini merupakan acuan yang dijadikan standar utama di pondok pesantren
  4. Adanya penanaman sikap percaya dan tanggung jawab yang tinggi kepada para santri, terutama kepada santri-santri yang telah lama belajarnya di pondok pesantren.
  5. Adanya pembiasaan hidup bersama dalama mengerjakan suatu pekerjaan yang merupakan kepentingan bersama. Dalam kehidupan pesantren, santri sudah dilatih sejak dini untuk bekerjasama dengan sesama, seperti membuat jadwal petugas masak, jadwal petugas kebersihan kamar, dan lain-lain.
  6. Adanya pembiasaan untuk hidup disiplin dalam menjalankan tugas dan kewajiban dengan tepat waktu, seperti dalam kegiatan pengajian, mudzakarah, peribadatan, pembiasaan shalat berjama’ah, dan kegiatan lainnya.
Adanya penanaman aspek kemandirian santri. Hal ini benar-benar ditekankan di pesantren. Segala macam keperluan santri harus dilakukan secara mandiri, jangan bergantung kepada orang lain. Seperti masak, mencuci, membersihkan ruangan, dan lain-lain.




F.      Pembahasan
Pesantren di Indonesia termasuk pendidikan tertua, meskipun secara pasti belum diketahui tahun pertama adanya pesantren, tetapi setidak-tidaknya sebelum abad ke-16 M sudah ada cikal bakal pesantren di Indonesia.
Menurut Directorate General Development of Islamic Institutions, Departemen Agama RI tahun 2000 ada sekitar 11.312 pondok pesantren yang sudah terdaftar, dengan jumlah santri sekitar 2.737.805 santri yang belajar di dalamnya. Hasil pendidikan pesantren sampai sekarang sudah banyak dilihat kemanfaatannya oleh masyarakat luas maupun oleh kalangan pengamat. Mayoritas ulama membimbing perjalanan rohani umat Islam di Indonesia sampai sekarang adalah jebolan pesantren.
Meskipun jika dihitung perbandingan antara jumlah santri dengan jumlah “kyai” yang dapat dihasilkan pesantren relatif kecil (belum tentu di antara 100 santri ada seorang yang dapat menjadi Kyai), namun kenyataan sosial membuktikan bahwa pesantren telah cukup besar jasanya dalam memproduksi manusia-manusia muslim yang taat dan shaleh, yang kuat keterikatannya dengan ajaran dan tatanan agama Islam, baik mereka itu menjadi petani, pedagang, nelayan, pejabat dan lain sebagainya, sehingga ada sebutan “Golongan Santri” yang dibedakan dengan golongan abangan atau golongan priyayi, meskipun sekarang penggolongan semacam itu sudah kabur.
Pendidikan pesantren selama ini memang ditekankan pada penguasaan lmu-ilmu syari’ah, dengan kitab-kitab kuning sebagai literatur dasar, dengan sistem dan metode kajian tradisional yaitu menghafal, mengenal makna-makna harfiah dan menterjemahkan secara menguasai i'rabnya. Kadang-kadang ada juga sistem diskusi atau musyawarah. Metoda yang lebih analisis dan sistematis kurang berkembang, demikian juga metode komparasi (muqaranah). Di sisi lain, pendidikan yang didasarkan pengalaman, keteladanan guru atau kyai, sangat bagus. Kesederhanaan hidup, kederhanaan materi, kemandirian ditampilkan secara alamiah di dalam pesantren, sehingga membentuk watak-watak merakyat di kalangan para santri.
Ketertutupan terhadap perubahan-perubahan yang ada masih terlihat dalam sikap-sikap dunia pesantren. Tujuannya antara lain untuk meninggalkan pengaruh negatif budaya luar terhadap pesantren, di samping pelestarian nilai-nilai kepesantrenan agar tidak mudah tercemar oleh nilai-nilai lain yang dipandang mempunyai unsur disturktif atau merusak. Akibat samping dari sikap ini ada lambatnya dunia pesantren dalam mengikuti perkembangan sosial, keilmuan dan teknologi baru, termasuk metodologi pengajaran dan informasi kemasyarakatan (belakangan usaha-usaha untuk membuka diri sudah tambah kelihatan di beberapa pesantren).
Dunia pesantren diharapkan tetap mampu menjaga identitasnya (kepribadiannya) sebagai wadah pendidikan Islam pada pusat kajian ilmu-ilmu Syari’ah. Namun pesantren juga diharapkan lebih memiliki sifat terbuka, berwawasan luas, kritis dan selektif, sehingga benar-enar menjadi lembaga pendidikan yang mampu melakukan “Pelestarian nilai-nilai lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.

G.    Penutup
Menutup uraian makalah ini, sebagai saran, diharapkan pesantren berperan dalam trilogi pengembangan potensi manusia secara berimbang, proporsional sehingga akan lebih mampu melahirkan manusia-manusia yang disebut atqonnas, yaitu manusia yang tinggi kualitas ketaqwaannya, afqohunnas, yaitu manusia yang baik pemahaman agamanya, dan anfaunnas yaitu manusia yang banyak memberikan kemanfaatan kepada umat.


DAFTAR PUSTAKA

Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Relevansi Pesantren dan Pengembangan Ilmu di Mata Datang, dalam Majalah Pesantren, Edisi Perdana. Jakarta: P3M.
Ghazali, M. Bahri. 2004. Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: CV. Prasasti.
Haedari, Amin dkk. 2004. Panduan Praktis Pelayanan Pondok Pesantren Pada Masyarakat Bidang Mu’amalah. Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI.
Hasbullah. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, cet 2, Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1977. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.
Mahduri, M. Anas dkk. 2003. Pola Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pondok Pesantren. Jakarta: Depag, RI.
Masyhud, M. Sulthon dkk. 2003. Manajemen Pondok Pesantren. Jakarta: Dwi Pustaka.
Nazaruddin dkk. 1986. Seri Monografi Pondok Pesantren dan Angkatan Kerja. Jakarta: Depag RI.
Qomar, Mujamil. tt. Pesantren dari Transpormasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Ruhiat, M. Ilyas. 1985. Idaman yang Perlu Diuji, dalam Majalah Pesantren, No. 1 Vol. II. Jakarta: P3M.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ziemek, Manfred. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo. Jakarta: P3M